Dalam masyarakat Ayutthaya, unit dasar organisasi sosial adalah komunitas desa, yang terdiri dari rumah tangga keluarga besar.
Umumnya, ketua yang terpilih memberikan kepemimpinan untuk proyek-proyek komunal.
Hak atas tanah berada pada kepala desa, yang memegangnya atas nama komunitas, meski pemilik tanah pertanian tetap menikmati penggunaan tanah selama mereka mengolahnya.
Dengan lahan yang tersedia untuk budidaya, kelangsungan hidup negara bergantung pada sektor pertanian dan pertahanan.
Baca juga: 3 Kerajaan Islam yang Bercorak Agraris
Masa kejayaan Kerajaan Ayutthaya ditandai dengan perkembangan pesat di bidang seni, sastra, dan wilayah kekuasaannya.
Pada awal abad ke-18, kerajaan ini telah menguasai kota-kota penting, seperti Martaban, Ligor atau Nakhon Sri Thammarat, Tenasserim, Junk Ceylon atau Pulau Phuket, dan Singora atau Songkhla.
Di bidang sastra, kisah-kisah dalam bentuk Ramakien (wiracarita nasional Thailand) berkembang dan menjadi sumber sastra di Ayutthaya.
Ramakien kemudian berkembang menjadi drama klasik Khon, yang merupakan seni pertunjukan drama tari di Thailand.
Di Kerajaan Ayutthaya, sebagian besar karya sastranya berbentuk puisi. Tradisi puisi Thailand awalnya didasarkan pada bentuk puisi asli seperti rai, khlong, dan klon.
Sementara di bidang pertanian, kerajaan ini mengalami kejayaan dengan menghasilkan beberapa komoditas, seperti padi, beras, dan biji-bijian.
Baca juga: Urutan Kerajaan Islam di Indonesia dari yang Tertua
Kerajaan Ayutthaya, yang bertetangga dengan Burma, dari Dinasti Konbaung, terlibat konflik militer pada 1759.
Burma melakukan invasi terhadap Ayutthaya, yang menyebabkan lepasnya wilayah kota Pelabuhan Tavoy.
Peperangan berlangsung selama beberapa tahun, hingga pada 1760-an, beberapa kota penting Ayutthaya telah jatuh ke tangan Burma.
Bahkan, pertempuran ini pada akhirnya meruntuhkan Kerajaan Ayutthaya pada 1767, ketika di bawah pemerintahan Ekkathat sebagai raja terakhirnya.
Referensi: