KOMPAS.com - Pasca-kemerdekaan, kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil, di mana kesejahteraan rakyat dan pembangunan dirasa masih sulit dikembangkan.
Selain itu, terjadi kesenjangan pembangunan di Pulau Jawa (pusat pemerintahan) dan beberapa pulau lain.
Kondisi itu kemudian memicu timbulnya sentimen, khususnya dari rakyat Sumatera dan Sulawesi yang merasa tidak puas karena merasa "diabaikan" oleh pemerintah pusat.
Ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah pusat dan dana pembangunan mendorong terbentuknya beberapa dewan, yaitu Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda.
Baca juga: Dewan Banteng: Latar Belakang, Pendiri, dan Tuntutannya
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kondisi para prajurit yang pernah bertaruh nyawa untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan sangat mengenaskan.
Tidak hanya nasib para prajurit, kondisi masyarakat pada umumnya juga tidak sejahtera.
Bahkan kondisi rakyat di daerah jauh berbeda dibanding pembangunan di Pulau Jawa. Padahal, pemerintah pusat banyak mendapat sumber devisa dari daerah.
Situasi yang tidak menyenangkan ini kemudian mendorong terbentuknya sebuah dewan yang menjadi cikal bakal Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yaitu Dewan Banteng di Sumatera Barat.
Dewan Banteng diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah, mantan Panglima Divisi IX Banteng pada 20 Desember 1956.
Dewan Banteng menuntut empat hal, yaitu:
Dari empat tuntutan itu, tidak semua dipenuhi oleh pemerintah pusat, yaitu otonomi atau sistem pemerintahan desentralisasi dan keuangan antara pusat dan daerah yang adil.
Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi memberi penghasilan daerah ke pemerintah pusat, tetapi dikirim untuk pembangunan daerah.
Baca juga: Dewan Gajah: Latar Belakang dan Tuntutan
Setelah Dewan Banteng terbentuk, disusul dengan pembentukan Dewan Gajah di Sumatera Utara pada 22 Desember 1956.
Didasari dengan rasa kecewa yang sama, Dewan Gajah dibentuk oleh Panglima Tentara dan Teritorium I/TTI Kolonel Maludin Simbolon.
Lewat Dewan Gajah, Simbolon menyatakan melepaskan diri dari pemerintahan PM Djuanda.