Keterlibatan VOC di Kerajaan Mataram dimulai pada masa pemerintahan Amangkurat I (1645-1677), putra sekaligus pengganti Sultan Agung.
Berbeda dari ayahnya, Amangkurat I memiliki sifat sangat kejam dan mau bersekutu dengan VOC.
Sejak awal pemerintahannya, Amangkurat I melakukan perjanjian dengan VOC, yang hakikatnya Mataram harus mengakui kekuasaan VOC dan mengizinkannya untuk ikut campur urusan politik kerajaan.
Pada masa pemerintahan Amangkurat II, VOC mulai melakukan pencaplokan wilayah, mengendalikan pelabuhan di pantai utara sampai ujung paling timur Pulau Jawa, dan memonopoli ekspor beras Mataram.
Secara berangsur, wilayah kerajaan menyempit akibat aneksasi yang dilakukan VOC sebagai imbalan atas intervensinya dalam intrik-intrik di kalangan keluarga kerajaan.
Selama abad ke-18, VOC terus melakukan intervensi dalam pergantian penguasa Kerajaan Mataram, yang kemudian menjadi salah satu sebab meletusnya Perang Diponegoro.
Pada akhirnya, Kerajaan Mataram harus menandatangani Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang menyebabkan kerajaan dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Perjanjian Giyanti sendiri merupakan bentuk politik adu domba atau devide et impera VOC dengan memanfaatkan perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III.
Baca juga: Devide et Impera: Asal-usul dan Upaya-upayanya di Nusantara
VOC tidak hanya memanfaatkan konflik internal kerajaan, tetapi juga perselisihan antarkerajaan, seperti yang terjadi pada Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bone.
Dalam konflik dua kerajaan tersebut, VOC kembali melakukan siasat politik adu domba hingga membuat Raja Bone, yakni Aru Palaka, mau bersekutu untuk melawan Gowa-Tallo.
Setelah bertahun-tahun berperang, Kerajaan Gowa-Tallo, di bawah kekuasaan Sultan Hasanuddin, harus mengakui kekalahannya dan menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1667.
Dalam perjanjian tersebut, banyak pasal yang merugikan Gowa-Tallo dan dua hari setelahnya Sultan Hasanuddin turun takhta.
Perjanjian Bongaya menjadi awal keruntuhan Kerajaan Gowa-Tallo, karena raja-raja setelah Sultan Hasanuddin bukanlah raja yang merdeka dalam penentuan politik kenegaraan.
Tidak hanya itu, VOC akhirnya berhasil menguasai monopoli perdagangan di wilayah Indonesia bagian Timur.
Belanda sebenarnya telah berupaya memonopoli perdagangan di Banjar sejak awal abad ke-17, tetapi selalu diusir.