Semua perbaikan yang dilakukan Soeharto ini mendatangkan dukungan untuknya, baik dari kalangan warga sipil maupun militer.
Oleh sebab itu, Soeharto dianggap mampu mengemban aspirasi mereka dan membuka jalan bagi rezim Orde Baru.
Baca juga: Benteng Speelwijk: Sejarah, Fungsi, dan Kompleks Bangunan
Di masa awal Soeharto mengonsolidasikan rezimnya, ia mendapat protes dari mahasiswa.
Pada 15 Januari 1974, Presiden Soeharto dan beberapa menteri bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Istana Negara.
Di saat yang bersamaan, ribuan orang yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMA datang sembari melancarkan aksi protes.
Mereka meneriakkan menentang terjadinya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia.
Atas komando Hariman Siregar, ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia sekaligus pemimpin aksi massa saat itu, para mahasiswa melakukan long march dari kampus UI, Salemba, menuju Universitas Trisakti.
Sejak saat itu, aksi unjuk rasa kian mengganas, sehingga peluru peringatan ditembakkan ke udara.
Malam harinya, aparat kemanan mulai bertindak kasar. Polisi mengangkut sekitar 12 demonstran ke kantor polisi.
Soeharto pun menyelesaikan kekacauan tersebut dengan tangan besinya. Sejumlah 750 aktivis mahasiswa dan cendekiawan diciduk oleh aparat.
Mereka adalah Hariman Siregar, yang dijatuhi hukuman penjara enam tahun, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid.
Peristiwa pelik ini disebut Tragedi Malari.
Setelah Peristiwa Malari, tahun 1997-1998 juga terjadi kasus penculikan para aktivis.
Selama periode 1997/1998, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat 23 orang hilang.
Sembilan orang dilepaskan, sedangkan 13 lainnya hingga saat ini masih dalam status hilang.