KOMPAS.com - Soeharto merupakan Presiden Indonesia terlama yang menjabat 32 tahun, dari 1967 hingga 1998.
Masa kepemimpinannya disebut dengan Orde Baru atau Orba.
Awal mula terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia adalah saat ia berhasil menumpas Gerakan 30 September dan menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang.
Soeharto kemudian diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai Presiden pada 12 Maret 1967, mengambil alih kepemimpinan dari Soekarno.
Setelah periode pertama memimpin sebagai Presiden Indonesia, Soeharto kembali ditunjuk oleh MPR tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Baca juga: Kehidupan Ekonomi pada Masa Orde Baru
Terpilihnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia selama 7 periode tentu bukanlah tanpa suatu alasan. Berikut beberapa alasan Soharto bisa berkuasa selama 32 tahun:
Selain itu, banyak orang juga menganggap bahwa sistem kepemerintahan Soeharto menjaga ekstremisme beragama.
Hal tersebut dapat terjadi karena penyebaran intel, baik dari Kodim maupun Kepolisian yang merata sehingga dapat mendeteksi secara dini potensi konflik yang akan terjadi.
Baca juga: Penyimpangan Konstitusi pada Era Orde Lama
Selama Januari-Februari 1966, gelombang demonstrasi mahasiswa yang tidak puas dengan kinerja Soekarno kian merebak.
Para demonstran ini mengajukan tiga tuntutan, yaitu bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, rombak Kabinet Dwikora, dan turunkan harga.
Kekacauan pada saat itu berimbas hingga ke ranah sosial dan politik, di mana pemerintah tiba-tiba menerbitkan kebijakan menaikkan harga sembako hingga 300 sampai 500 persen.
Soekarno yang semakin terdesak pun akhirnya menekan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Sejak saat itu, kekuatan politik Soeharto semakin tidak tertanggulangi.
Sebagai pengemban Supersemar, Soeharto perlahan-lahan menggerogoti kekuatan politik Soekarno.
Kendati demikian, Soeharto telah memperbaiki banyak hal.
Semua perbaikan yang dilakukan Soeharto ini mendatangkan dukungan untuknya, baik dari kalangan warga sipil maupun militer.
Oleh sebab itu, Soeharto dianggap mampu mengemban aspirasi mereka dan membuka jalan bagi rezim Orde Baru.
Baca juga: Benteng Speelwijk: Sejarah, Fungsi, dan Kompleks Bangunan
Di masa awal Soeharto mengonsolidasikan rezimnya, ia mendapat protes dari mahasiswa.
Pada 15 Januari 1974, Presiden Soeharto dan beberapa menteri bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka di Istana Negara.
Di saat yang bersamaan, ribuan orang yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMA datang sembari melancarkan aksi protes.
Mereka meneriakkan menentang terjadinya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia.
Atas komando Hariman Siregar, ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia sekaligus pemimpin aksi massa saat itu, para mahasiswa melakukan long march dari kampus UI, Salemba, menuju Universitas Trisakti.
Sejak saat itu, aksi unjuk rasa kian mengganas, sehingga peluru peringatan ditembakkan ke udara.
Malam harinya, aparat kemanan mulai bertindak kasar. Polisi mengangkut sekitar 12 demonstran ke kantor polisi.
Soeharto pun menyelesaikan kekacauan tersebut dengan tangan besinya. Sejumlah 750 aktivis mahasiswa dan cendekiawan diciduk oleh aparat.
Mereka adalah Hariman Siregar, yang dijatuhi hukuman penjara enam tahun, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid.
Peristiwa pelik ini disebut Tragedi Malari.
Setelah Peristiwa Malari, tahun 1997-1998 juga terjadi kasus penculikan para aktivis.
Selama periode 1997/1998, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat 23 orang hilang.
Sembilan orang dilepaskan, sedangkan 13 lainnya hingga saat ini masih dalam status hilang.
Kasus penculikan ini dilakukan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang Pemilihan Umum 1997.
Baca juga: S Sudjojono, Bapak Seni Rupa Modern Indonesia
Tidak hanya itu, beberapa media massa juga jadi sasaran rezim karena dianggap telah menyuguhkan proporsi berita yang berlebihan dan memanaskan suasana.
Sejumlah media massa yang dibredel pemerintah adalah Harian Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, Harian KAMI, dan The Jakarta Times.
Bahkan Tempo dan Kompas yang hari ini masih terbit juga pernah dibredel di era Orde Baru.
Setelah itu, bulan Maret 1978, sejumlah mahasiswa dari Jakarta, Bogor, Yogyakarta, dan Surabaya mendatangi Istana Presiden dan menyampaikan desakan agar Soeharto tidak lagi mencalonkan diri sebagai Presiden.
Beberapa media yang juga turut menggaungkan desakan mahasiswa tersebut akhirnya dibredel oleh pemerintah.
Laksamana Sudomo kemudian mengerahkan sejumlah pasukannya untuk menciduk sekitar 143 mahasiswa.
Banyak di antara mereka yang diadili dan kemudian dijebloskan ke dalam penjara.
Dengan cara-cara otoriter seperti itulah Soeharto mampu melanggengkan rezim dan stabilitas yang ia inginkan.
Baca juga: Petrus Albertus van der Parra, Penguasa Korup Hindia Belanda
Referensi: