Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gerakan Samin, Melawan Kolonialisme Belanda tanpa Kekerasan

Kompas.com - 23/08/2021, 15:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

Sumber Kemdikbud

KOMPAS.com - Gerakan Samin adalah sebuah upaya untuk melawan penjajahan Belanda yang dilakukan tanpa kekerasan.

Gerakan sosial ini dilakukan oleh pengikut ajaran Saminisme yang diajarkan oleh Samin Surosentiko.

Di antara pergolakan sosial yang muncul di pedesaan, perlawanan ini dianggap sebagai gerakan yang pasif dan tidak berbahaya.

Kendati demikian, Gerakan Samin tetap menimbulkan kecemasan pada pemerintahan Hindia Belanda.

Ciri-ciri Gerakan Samin

Secara umum, Gerakan Samin memiliki ciri-ciri seperti pergolakan sosial di pedesaan lainnya, yaitu bersifat tradisional, dilakukan oleh petani, dan daerah gerakannya tidak luas.

Akan tetapi, gerakan ini juga memiliki keunikan yang membedakannya dengan gerakan-gerakan petani lainnya.

Gerakan Samin dilakukan tanpa kekerasan, seperti aksi tidak membayar pajak dan menolak untuk patuh terhadap peraturan pemerintah kolonial.

Para pelakunya pun dikenal rajin, jujur, serta menghargai sesama, termasuk kepada kaum perempuan.

Hal inilah yang mendasari Pemerintah Belanda untuk menganggap bahwa Gerakan Samin tidaklah berbahaya dan dapat dengan cepat ditumpas apabila pemimpin atau penganjurnya dibuang.

Selain itu, tidak seperti gerakan sosial untuk melawan kolonial Belanda lainnya yang umumnya berumur singkat, Gerakan Samin yang dimulai pada akhir abad ke-19 ternyata bertahan cukup lama.

Baca juga: Perlawanan Terhadap VOC di Maluku, Makassar, Mataram, dan Banten

Pemimpin Gerakan Samin

Tokoh Samin yang memimpin gerakan melawan penjajah adalah Samin Surosentiko, keturunan Kanjeng Pangeran Arya Kusumaningayu.

Samin Surosentiko lahir dengan nama Raden Kohar pada 1859 di Desa Ploso, Kecamatan Diren, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Arti kata Samin sendiri adalah kelompok orang senasib dan sepenanggungan. Nama ini akhirnya dipilih karena dirasa lebih bernafaskan kerakyatan.

Oleh pemerintah Belanda, Samin dianggap sebagai seorang residivis yang sering keluar-masuk penjara.

Akan tetapi, bagi para petani di pedesaan Blora dan Bojonegoro, ia dipandang sebagai sosok pemberontak Belanda yang berhati mulia.

Orang-orang Samin sendiri juga lebih suka disebut wong sikep (orang yang baik dan jujur), yang menurut mereka berkonotasi positif.

Hal ini kemungkinan untuk menghapus citra buruk orang Samin, yang bagi beberapa pihak dianggap sebagai pembangkang.

Penyebab Gerakan Samin

Para sejarawan berpendapat bahwa penyebab Gerakan Samin adalah tekanan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda.

Akan tetapi, faktor ekonomi terbukti bukan satu-satunya alasan orang-orang Samin memberontak.

Motif para petani yang berkecukupan lebih kepada perasaan tidak berdaya dalam menghadapi kekuasaan kolonial dan kecemasan akan hilangnya kedudukan atau statusnya.

Meski Gerakan Samin dikenal tidak agresif, tetapi pada awal abad ke-20 tindakan mereka cenderung meningkat akibat meluasnya penerapan sistem perpajakan.

Baca juga: Perang Guntung, Pemberontakan Rakyat Siak Melawan Belanda

Kemunculan Gerakan Samin

Gerakan Samin dimulai sekitar tahun 1890, ketika Samin Surosentiko mulai menarik pengikut dan menyebarkan ajarannya.

Pada 1907, pemerintah Hindia Belanda mendapatkan laporan bahwa di daerah Blora Selatan dan terdapat sekitar 3.000 orang Samin.

Masih di tahun yang sama, timbul desas-desus bahwa orang-orang Samin akan memberontak, meskipun belum tampak adanya gerakan yang membahayakan.

Terlebih lagi, ajaran Samin Surosentiko telah meluas ke daerah Rembang, Blora Utara, bahkan Ngawi.

Pemerintah Belanda pun mulai menaruh perhatian dan beraksi dengan menangkap Samin Surosentiko bersama delapan pengikutnya.

Meski bukti yang dikumpulkan pemerintah tidak cukup untuk menuduh Samin merencanakan pemberontakan, ia tetap dibuang ke Padang hingga kematiannya pada 1914.

Gerakan Samin di Jawa

Pasca kepergian Surosentiko, Gerakan Samin terus hidup dan berkembang walaupun dengan lambat.

Pada 1908, seorang bernama Wongsoredjo menyebarkan ajaran Samin di dekat Madiun.

Ia mengaku telah mengajak pengikutnya untuk tidak membayar pajak dan melakukan kerja rodi. Wongsoredjo kemudian ditangkap dan dibuang oleh pemerintah.

Memasuki dekade kedua abad ke-20, Gerakan Samin semakin meningkat dan ada yang disertai kekerasan.

Di Grobogan, orang Samin pimpinan Surohidin dan Pak Engkrak tidak mau menaati
peraturan pemerintah, menolak membayar pajak, dan menyerang kepala desa.

Pada 1917, Asisten Residen Tuban bernama J.E. Jasper melaporkan bahwa pemukiman orang-orang Samin semakin meluas.

 

Referensi:

  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com