Namun, setelah ditandatanganinya Traktat London pada 1824, Belanda memastikan kembali pengaruhnya di Pagaruyung.
Baca juga: Kerajaan Aceh: Raja-raja, Puncak Kejayaan, Keruntuhan, dan Peninggalan
Kemunduran Kerajaan Pagaruyung hingga akhirnya runtuh disebabkan adanya Perang Padri (1803-1838).
Pada awal abad ke-19, kekuasaan raja Pagaruyung memang telah melemah, meskipun masih tetap dihormati.
Permusuhan antara keluarga kerajaan dengan kaum Padri tidak dapat dicegah hingga menimbulkan korban jiwa.
Untuk melawan kaum Padri, keluarga Kerajaan Pagaruyung terpaksa meminta bantuan kepada Belanda.
Pada 10 Februari 1821, Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung, menandatangani pernjanjian dengan Belanda, yang dianggap sebagai bentuk penyerahan.
Dalam perjanjian itu, Belanda berjanji membantu perang melawan kaum Padri dan sultan akan menjadi bawahan pemerintah pusat.
Belanda bahkan berusaha menaklukkan kaum Padri dengan mendatangkan pasukan dari Jawa dan Maluku.
Namun, ambisi Belanda untuk menguasai Pagaruyung membuat kaum adat dan pihak kerajaan bersatu demi memertahankan wilayahnya.
Alhasil, Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap oleh Belanda pada 1833 atas tuduhan pengkhianatan dan dibuang ke Betawi.
Kerajaan Pagaruyung runtuh setelah ditandatangani perjanjian antara kaum adat dengan pihak Belanda.
Dalam perjanjian itu, kawasan Kerajaan Pagaruyung resmi berada dalam pengawasan Belanda.
Referensi: