Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kerajaan Pagaruyung: Sejarah, Letak, Pendiri, dan Peninggalan

Ketika didirikan oleh Adityawarman pada sekitar 1347 M, kerajaan ini masih bercorak Hindu-Buddha.

Kerajaan Pagaruyung kemudian resmi berubah menjadi kesultanan Islam pada abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Alif.

Letak Kerajaan Pagaruyung berada di Provinsi Sumatera Barat dan sebagian Provinsi Raiu sekarang.

Setelah hampir lima abad berkuasa, kerajaan ini runtuh dalam peristiwa yang dikenal sebagai Perang Padri.

Sejarah singkat Kerajaan Pagaruyung

Dari manuskrip yang terdapat pada bagian belakang arca Amoghapasa, diketahui bahwa pada 1347 M Adityawarman menyatakan dirinya sebagai raja di Malayapura.

Meski nama Pagaruyung tidak ditemukan dalam berbagai sumber sejarah, Adityawarman diduga kuat sebagai pendiri Kerajaan Pagaruyung.

Adityawarman adalah seorang keturunan Minangkabau-Jawa, putra dari Adwayawarman (pemimpin Ekspedisi Pamalayu dari Kerajaan Kediri) dan Dara Jingga (putri Kerajaan Dharmasraya).

Namun, sebagian sejarawan berpendapat bahwa Adityawarman adalah putra dari Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit) dan Dara Jingga.

Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli, Adityawarman adalah sepupu Raja Jayanegara (raja kedua Majapahit) dari pihak ibu.

Sebelum mendirikan Kerajaan Pagaruyung, ia pernah menaklukkan Bali dan Palembang bersama Mahapatih Gajah Mada.

Pasalnya, Adityawarman adalah raja bawahan (uparaja) dari Majapahit yang dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera.

Dalam perjalanannya, ia berusaha melepaskan diri dari Majapahit hingga dikejar oleh pasukan dari Jawa Timur.

Setelah terlibat pertempuran dahsyat di daerah Padang Sibusuk, Adityawarman akhirnya menang.

Puncak kejayaan Kerajaan Pagaruyung

Di bawah pemerintahan Adityawarman dan putranya, Ananggawarman, Kerajaan Pagaruyung menjadi sangat kuat hingga berhasil melebarkan kekuasaannya ke wilayah Sumatera bagian tengah.

Dari berita China, diketahui bahwa antara 1371 hingga 1377 Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Dinasti Ming sebanyak enam kali.

Namun, keturunan Ananggawarman bukanlah raja-raja yang kuat dan dapat melanjutkan kejayaan pendahulunya.

Setelah Adityawarman meninggal, Kerajaan Majapahit diduga kembali mengirimkan ekspedisi pada 1409.

Pemerintahan kemudian digantikan oleh orang Minangkabau sendiri, yaitu Rajo Tigo Selo yang dibantu oleh Basa Ampat Balai.

Daerah-daerah Siak, Kampar, dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Aceh.

Berubah menjadi Kesultanan Pagaruyung

Pada abad ke-16, agama Islam mulai berkembang di Pagaruyung setelah dibawa oleh para musafir yang singgah dari Aceh dan Malaka.

Salah satu ulama yang pertama kali menyebarkan Islam di Pagaruyung adalah Syaikh Burhanuddin Ulakan, murid ulama terkenal dari Aceh.

Memasuki abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan dan raja pertamanya yang masuk Islam adalah Sultan Alif.

Setelah itu, banyak aturan adat Minangkabau yang dihilangkan karena bertentangan dengan ajaran Islam.

Hanya sedikit sistem dan cara adat yang dipertahankan, hingga nantinya mendorong pecahnya perang saudara atau dikenal dengan Perang Padri.

Di saat yang sama, kerajaan ini harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh.

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

Ketika VOC berhasil mengalahkan Kesultanan Aceh pada 1667, kekuatan Pagaruyung pun kembali.

Menjelang akhir abad ke-17, kehidupan ekonomi Kerajaan Pagaruyung yang ditopang oleh produksi emasnya mulai menarik minat Belanda dan Inggris.

Pada 1684, diutuslah Tomas Dias oleh Gubernur Jenderal Belanda di Malaka ke Pagaruyung.

Sejak saat itu, mulai terbina komunikasi dan perdagangan antara VOC dan Pagaruyung. Antara 1795 sampai 1819, Pagaruyung sempat berada dalam kekuasaan Inggris.

Namun, setelah ditandatanganinya Traktat London pada 1824, Belanda memastikan kembali pengaruhnya di Pagaruyung.

Keruntuhan Kerajaan Pagaruyung

Kemunduran Kerajaan Pagaruyung hingga akhirnya runtuh disebabkan adanya Perang Padri (1803-1838).

Pada awal abad ke-19, kekuasaan raja Pagaruyung memang telah melemah, meskipun masih tetap dihormati.

Permusuhan antara keluarga kerajaan dengan kaum Padri tidak dapat dicegah hingga menimbulkan korban jiwa.

Untuk melawan kaum Padri, keluarga Kerajaan Pagaruyung terpaksa meminta bantuan kepada Belanda.

Pada 10 Februari 1821, Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung, menandatangani pernjanjian dengan Belanda, yang dianggap sebagai bentuk penyerahan.

Dalam perjanjian itu, Belanda berjanji membantu perang melawan kaum Padri dan sultan akan menjadi bawahan pemerintah pusat.

Belanda bahkan berusaha menaklukkan kaum Padri dengan mendatangkan pasukan dari Jawa dan Maluku.

Namun, ambisi Belanda untuk menguasai Pagaruyung membuat kaum adat dan pihak kerajaan bersatu demi memertahankan wilayahnya.

Alhasil, Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap oleh Belanda pada 1833 atas tuduhan pengkhianatan dan dibuang ke Betawi.

Kerajaan Pagaruyung runtuh setelah ditandatangani perjanjian antara kaum adat dengan pihak Belanda.

Dalam perjanjian itu, kawasan Kerajaan Pagaruyung resmi berada dalam pengawasan Belanda.

Peninggalan Kerajaan Pagaruyung

  • Istana Pagaruyung
  • Makam raja Pagaruyung
  • Prasasti Batusangkar
  • Prasasti Suruaso
  • Prasasti Bandar Bapahat

Referensi:

  • Prasetyo, Deni. (2009). Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
  • Sudirman, Adi. (2019). Ensiklopedia Sejarah Lengkap Indonesia. Yogyakarta: DIVA Press.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/09/130000079/kerajaan-pagaruyung-sejarah-letak-pendiri-dan-peninggalan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke