Selain aktif sebagai seorang wartawan, Ki Hadjar Dewantara juga turut ambil peran dalam organisasi sosial politik.
Pada tahun 1912 Ki Hadjar Dewantara mendirikan organisasi pergerakan nasional yang bernama Indische Partij.
Organisasi tersebut didirikan oleh tiga serangkai, yaitu Dr. E.F.E. Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 25 Desember 1912.
Namun, Indische Partij ini mendapat penolakan dari Belanda sehingga diganti menjadi Komite Bumiputera pada 1913.
Terbentuknya komite ini bertujuan untuk melancarkan kritik terhadap pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda setelah berperang dengan Perancis.
Ki Hadjar Dewantara menyampaikan kritikannya kepada pemerintah Belanda melalui tulisan berjudul Als ik eens Nederlander was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk satu juga).
Sayangnya, akibat tulisan tersebut, Ki Hadjar Dewantara ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke Pulau Bangka.
Tetapi, Ki Hadjar Dewantara meminta agar dirinya dibuang ke Belanda saja dan keinginannya itu diizinkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Selama menjalani masa pembuangan di Belanda, beliau banyak menghabiskan waktunya untuk belajar.
Sampai akhirnya pada 1918, Ki Hadjar Dewantara diperbolehkan kembali ke Indonesia.
Begitu kembali ke tanah air, beliau langsung bertekad untuk membebaskan rakyat Indonesia dari kebodohan demi mencapai Indonesia merdeka.
Beliau mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa (National Onderwijs Institur Taman Siswa) pada 3 Juli 1922.
Berdirinya sekolah Taman Siswa ini bertujuan untuk menanamkan rasa kebangsaan mencintai tanah air untuk berjuang memperoleh kemerdekaan.
Ki Hadjar Dewantara terkenal dengan tiga semboyan yang ia ciptakan, berbunyi:
Arti dari semboyan ini yaitu seorang guru adalah pendidik yang harus memberi contoh atau menjadi panutan
Ing berarti “di”, ngarsa berarti “depan”, sung artinya “jadi”, dan tuladha yaitu “contoh” atau “panutan”.
Semboyan kedua ini memiliki arti yaitu seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus menerus membangun semangat serta ide-ide untuk berkarya.
Ing artinya “di”, madya berarti “tengah”, mangun artinya “membangun”, dan karsa yaitu “semangat” atau “niat”.
Semboyan ketiga ini bermakna seorang guru adalah pendidik yang terus menerus menuntun, menopang, dan menunjuk arah yang benar bagi hidup dan karya anak didiknya.
Tut wuri berarti “di belakang” atau mengikuti dari belakang dan handayani yaitu “memberikan semangat”.
Referensi: