Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Houthi, dari Gerakan Perdamaian ke Pusat Konflik Dunia

Pemimpin Houthi yang pertama adalah Hussein Badreddin al-Houthi, seorang politisi Yaman dan aktivis politik dari kelompok Islam Syiah aliran Zaidi.

Houthi merupakan salah satu tokoh sentral perang saudara di Yaman yang meletus pada 2014.

Pada 1 November 2023, kelompok Houthi, yang menguasai sebagian besar wilayah Yaman dalam perang saudara, menyatakan perang terhadap Israel sebagai bentuk dukungannya kepada Palestina.

Bermula dari gerakan yang mengajarkan perdamaian di Yaman, Houthi telah memasuki pusat konflik dunia yang semakin membara di Laut Merah.

Berikut ini sejarah Houthi di Yaman.

Siapa itu militan Houthi?

Melansir Al Jazeera, Houthi dikenal secara resmi sebagai Ansar Allah atau Penolong Agama Allah.

Houthi dimulai pada awal 1990-an sebagai gerakan teologis yang mengajarkan toleransi dan perdamaian, dengan basis di Provinsi Saada bagian utara.

Menurut Ahmed Addaghashi, seorang profesor di Universitas Sanaa dan penulis dua buku mengenai Houthi, gerakan Houthi mulanya memiliki visi pendidikan dan budaya yang berwawasan luas.

“Kelompok ini dimulai sebagai sebuah pertemuan yang disebut Forum Pemuda Beriman pada awal tahun 90-an,” kata Addaghashi kepada Al Jazeera sebagaimana dikutip Kompas.com, Jumat (12/1/2024).

Dalam perjalanannya, muncul perselisihan internal yang membuat gerakan ini terbagi menjadi dua pandangan.

Pandangan pertama menyerukan lebih banyak keterbukaan, sementara pandangan kedua ingin berpegang teguh pada cita-cita Islam Syiah.

Hussein al-Houthi, pendiri Houthi sekaligus pemimpin gerakan ini, ternyata setuju pada pandangan pertama.

Alhasil, mulai 2004, Houthi menjadi gerakan militan dengan alasan membela diri, ketika perang pertama dengan pemerintah Yaman meletus.

Houthi vs Pemerintah Yaman

Ketegangan antara Houthi dengan pasukan keamanan Yaman pertama kali berkobar ketika kelompok bersenjata ini melakukan protes terhadap pemerintahan Presiden Ali Abdullah Saleh yang dianggap korup.

Presiden Saleh memerintahkan penangkapan beberapa anggota Houthi dan mendesak Hussein Al-Houthi agar pendukungnya berhenti menggangggu para jemaah di masjid-masjid di ibu kota.

Ketika Hussein Al-Houthi tidak mengindahkan seruan Presiden Saleh, sejumlah pasukan dikirim ke Saada untuk menangkapnya.

Dalam operasi tersebut, Hussein Al-Houthi terbunuh, yang memicu perang selama beberapa tahun.

Sepeninggal Hussein Al-Houthi, kepemimpinan milisi pemberontak Yaman ini berada di tangan Abdul-Malik al-Houthi.

Peperangan berakhir dengan perjanjian gencatan senjata pada 2010.

Pada 2011, Houthi kembali ambil bagian dalam pemberontakan melawan Presiden Saleh, untuk menolak transformasi Yaman menjadi negara federal dengan enam wilayah.

Apabila wacana itu berjalan, Provinsi Saada, yang menjadi basis sekaligus benteng pertahanan bagi Houthi, akan dihubungkan dengan wilayah Sanaa.

Kelompok Houthi menuntut pembagian kekuasaan yang lebih besar dalam pemerintahan federal dan wilayah utara ditetapkan sebagai wilayahnya sendiri.

Dalam dokumen yang dirilis oleh situs WikiLeaks, analis pertahanan Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa Houthi tidak akan menuntut kemerdekaan, hanya otonomi daerah saja.

Houthi kemudian memanfaatkan rasa frustrasi yang meluas terhadap pemerintah dan kenaikan harga bahan bakar, untuk menggalang dukungan serta mendapatkan konsesi politik.

Pemberontakan tersebut berujung pada penggulingan Presiden Saleh pada Februari 2012. Sejak itu, Houthi lebih banyak berpartisipasi dalam konflik sektarian.

Houthi mendapat dukungan politik yang kuat di Yaman pada awal 2014, ketika mereka bangkit untuk melawan Presiden Abdrabbuh Mansour Hadi, pengganti Presiden Saleh, untuk mundur.

Kelompok Houthi juga menuntut bentuk pemerintahan yang lebih representatif, dengan kursi yang dialokasikan kepada kelompok politik dan aktivis independen.

Dalam pidatonya saat itu, Al-Houthi menuding pemerintah Yaman sebagai boneka AS yang acuh tak acuh terhadap tuntutan yang benar dan tulus dari rakyat.

Dalam perang saudara Yaman ini, Houthi membentuk kesepakatan dengan mantan presiden Saleh untuk mengembalikannya ke puncak kekuasaan.

Pada Februari 2015, Houthi merebut ibu kota Yaman, Sana'a, hingga memaksa Presiden Hadi melarikan diri ke luar negeri.

Sebulan kemudian, Arab Saudi melakukan intervensi militer ke Yaman dalam upaya menghentikan Houthi dan mengembalikan kekuasaan Presiden Hadi.

Upaya Saudi juga didukung oleh Uni Emirat Arab (UAE) dan Bahrain.

Kelompok Houthi masih dapat melawan serangan-serangan dari koalisi negara Arab dan terus menguasai sebagian besar wilayah Yaman.

Mereka membunuh Ali Abdullah Saleh pada 2017, ketika mencoba beralih ke pihak Saudi.

Dari mana kekuatan militer Houthi?

Sejak awal, Pemerintahan Hadi dan lawan-lawannya menuduh kelompok Houthi dipersenjatai oleh Iran. Namun, Houthi sempat membantah tuduhan adanya bantuan asing.

Melansir Kompas.com, menurut lembaga penelitian AS, Combating Terrorism Center, kelompok bersenjata di Lebanon, Hezbollah atau Hizbullah, telah membekali Houthi dengan keahlian dan pelatihan militer sejak 2014.

Houthi juga menganggap Iran, yang diduga memasok senjata untuk mereka, sebagai sekutu, dan Arab Saudi adalah musuh bersama mereka.

Arab Saudi berkali-kali menuding Iran memasok rudal balistik yang ditembakkan Houthi ke negaranya pada 2017 dan 2019.

Houthi telah menembakkan 10.000 rudal jarak pendek ke Saudi dan UEA, tetapi Iran membantah adanya dukungan kepada Houthi.

Memasuki konflik Israel-Palestina

Menyusul dimulainya operasi pembalasan Israel di Gaza pada 19 Oktober 2023, Houthi menembakkan sejumlah rudal dan drone ke arah Israel.

Pada November 2023, kelompok Houthi juga telah menyatakan perang terhadap Israel dan menyita apa yang mereka sebut sebagai kapal kargo Israel di Laut Merah, untuk dibawa ke lepas pantai Yaman.

Kelompok Houthi memang menguasai sebagian besar garis pantai Laut Merah.

Houthi juga menyerang sejumlah kapal komersil lainnya dengan roket dan drone sejak awal Desember 2023, dari pantai Yaman yang mereka kuasai.

Kelompok Houthi memperingatkan bahwa mereka akan menargetkan semua kapal yang berlayar melalui Laut Merah menuju Israel.

Kelompok Houthi menyebut diri mereka sebagai bagian dari "poros perlawanan", bersama Hamas dan Hezbollah yang dipimpin oleh Iran, melawan Israel, AS, dan negara-negara Barat.

Pakar Yaman di Institut Perdamaian Eropa, Hisham Al Omeisy mengatakan, inilah mengapa Houthi menyerang kapal-kapal yang bertujuan ke Israel di kawasan Teluk.

Kapal perang AS, Inggris, dan Perancis berupaya mencegat banyak serangan Houthi, tetapi beberapa di antaranya terkena serangan.

Eskalasi serangan di Laut Merah membuat banyak perusahaan pelayaran dunia mengalihkan pelayaran kapal-kapalnya untuk menjauh dari Laut Merah.

Pusat komando militer AS yang menjalankan operasi di Timur Tengah, mengatakan bahwa "serangan ini sepenuhnya dilakukan oleh Iran, meskipun diluncurkan oleh Houthi di Yaman".

Hingga artikel ini ditulis, situasi Laut Merah terus memanas karena AS dan Inggris menyerang milisi Houthi guna melindungi pelayaran komersil dari serangan Houthi lebih lanjut.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/01/12/190000679/sejarah-houthi-dari-gerakan-perdamaian-ke-pusat-konflik-dunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke