Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apakah Yesus dan Isa Sama?

Sama-sama manusia membuat kita sepenanggungan. Sebangsa dan setanah air mengarah solidaritas. Sesama beragama menjadi titik temu. Persamaan diharapkan mudah memahami sesama dan merukunkan.

Bagaimana dengan perbedaan? Agak sulit dipahami. Nasionalisme, sosialisme, agama dalam sejarah perjuangan bangsa kita sering dipertemukan daripada dicari apa bedanya.

Padahal ketiganya mempunyai perhatian yang berbeda. Itulah selaras atau harmoni menurut kita.

Dalam memahami hubungan antariman lebih mudah mencari persamaan menurut persepsi yang kita mampu.

Kata Isa sudah umum dipakai dan mudah dipahami bagi umat Islam, karena termaktub dalam Kitab Suci A-Qur’an dan tradisi Muslim. Seolah kalau menyebut Isa berarti sama dengan yang dimaksud Yesus.

Begitu juga kata Kristus kita pahami sebagai Al-Masih. Gelar Yesus Kristus sementara ini diselaraskan dengan Isa Al-Masih.

Apakah Yesus dan Isa berbeda? Apakah itu soal bahasa saja?

Yesus sudah lama mengakar dalam tradisi Gereja, saling terkait antara bahasa Aramaik, Syriak, Yunani dan Latin. Dua bahasa terakhir menguasai dunia mulai abad 5 SM hingga abad 10 M. Kira-kira begitu.

Dalam banyak penelitian dan tradisi memang Yesus berbahasa Aramaik. Tentu juga menggunakan bahasa Ibrani. Namun tradisi Yunani dan Latin selanjutnya umum dipakai di Gereja Barat dan juga Gereja Timur.

Bahasa Arab termasuk rumpun Semitik, bahasa kuno termasuk di dalamnya Ibrani, Aramaik, dan Syriak.

Kata Isa kemungkinan besar, menurut banyak penelitian sejarah, sudah dipakai dalam lingkungan gereja-geraja Timur Tengah dua atau tiga abad sebelum Islam diwahyukan pada abad 7 M.

Kelahiran Islam pada masa itu juga menggambarkan kondisi Kristiani di Timur Tengah sekaligus bagaimana Yahudi di sana.

Di Mekkah dan Madinah banyak suku-suku yang berafiliasi dengan Kristiani dan Yahudi. Kitab Suci Al-Qur’an menjadi saksi dan merekamnya dalam banyak ayat.

Memang berbeda antara Isa dalam Al-Qur’an dan pemahaman Yesus menurut tradisi gereja Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Soal statusnya dalam teologi Trinitas, dan teologi Tauhid (keesaan Tuhan) dalam Islam.

Tradisi Islam memahami Isa sebagai Nabi sebagaimana Nabi Muhammad SAW. Sementara Yesus dalam teologi Trinitas mengandung unsur keilahian Putra, bersama Bapa, dan Roh Kudus.

Bagi umat Islam yang meyakini Tauhid, memahami model teologi tiga unsur tidaklah familiar. Itulah bedanya.

Perbedaan tidak harus membuat jarak. Perbedaan harus diterima apa adanya menurut pemeluknya.

Teologi Trinitas dan Tauhid memang berbeda. Kita pahami saja menurut masing-masing pemahaman. Tan hana dharma mangrwa: tidak bercampur baur. Lakum diinukum wa liyadiin (agama dan pemahaman Anda milik Anda, begitu juga punya saya).

Soal penyaliban juga berbeda. Bagi umat Kristiani, penyaliban adalah sakral, penebusan dosa, dan diulang-ulang narasinya dalam banyak ritual.

Sementara Al-Quran menyebut Isa diangkat ke langit, tidak terjadi penyaliban. Ini juga perbedaan yang lain.

Perbedaan itu bersifat imani, hanya bisa dipahami saja. Menurut keimanan Katolik dan Kristen Protestan salib itu tinggi nilai sakralnya, sementara bagi umat Islam penyaliban tidak terjadi.

Mari kita hormati perbedaan ini, tanpa harus bertengkar dan merenggangkan. Sulit, tapi bisa menerima kebenaran dari masing-masing.

Kejujuran keimanan akan membuat keluasan pandangan, tidak menjadikan keimanan sendiri menjadi keimanan orang lain. Memahami keimanan umat lain membuat kita dewasa. Terbiasa dengan perbedaan akan membuat lapang dada.

Perbedaan-perbedaan yang lain banyak lagi. Bagaimana antara kisah Maryam dalam tradisi Islam dan Bunda Maria dalam Kristen tidak sama.

Banyak nama-nama dalam Al-Qur’an mempunyai persamaan dengan nama-nama dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, tetapi ceritanya masing-masing beraneka rupa.

Perbedaan memperkaya kita. Banyak kisah di dunia ini diceritakan dalam bahasa dan budaya yang berbeda, hasilnya juga ragam.

Mukjizat, kelahiran, para murid-muridnya, dan bagaimana akhir hidupnya juga banyak versi, baik Yesus ataupun Isa.

Bahkan sudah difilmkan berkali-kali. Davinci code (2006), the passion of the Christ (2004), the last temptation of Christ (1988), dan lain-lain.

Setiap Natal dan Paskah kita saksikan banyak pementasan tentang Yesus. Mungkin kisah Yesus bisa dipahami dengan mudah dengan sirah (kisah hidup) Nabi Muhammad SAW.

Namun tidak ada film yang menggambarkan Nabi Muhammad. Tidak boleh dilukis, diwakili orang lain, dimainkan drama dengan figur, atau dipresentasikan apapun. Ini sakral.

Jika ada, maka akan terjadi kontroversi, protes keras, dan kekacauan sosial.

Memang dalam tradisi Eropa dan negara-negara Barat, kritik terhadap agama sudah biasa.
Umat Kristiani sudah biasa menerima kritik, bahkan pada figur paling suci dan sakral pun.

Banyak film yang menyudutkan Yesus, tetapi bagi imam, pastor, romo, dan umat Kristiani, tidak membuat mereka marah.

Ini berbeda dengan tradisi Timur Tengah, Asia, dan di dalamnya umat Islam. Belum bisa dikritik, apalagi menyudutkan dan keras.

Kementerian Agama RI mewacanakan kembali penggunaan nomenklatur Yesus daripada Isa. Itu akan membuka diskusi panjang.

Semoga mendewasakan dan menyehatkan, tidak hanya menuruti pemahaman sendiri tentang agama lain.

Saatnya iman, agama, dan tradisi umat lain dipahami apa adanya menurut yang mengimaninya, tidak menurut iman, tradisi, dan agama sendiri atas orang lain. Itu langkah positif yang bisa mengurangi syak wasangka buruk (prejudis).

https://www.kompas.com/stori/read/2023/12/28/083226679/apakah-yesus-dan-isa-sama

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke