Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa 9 Februari Diperingati sebagai Hari Pers Nasional?

Konsep peringatan Hari Pers Nasional pertama kali muncul pada Kongres ke-16 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Padang, Sumatera Barat, pada 1978.

Keputusan terkait Hari Pers Nasional yang ditetapkan pada 9 Februari ini disahkan pada 23 Januari 1985 oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto. 

Berikut penjelasan terkait sejarah Hari Pers Nasional.

Sejarah Hari Pers Nasional

Penetapan Hari Pers Nasional merupakan hasil pembahasan dari Kongres ke-16 PWI di Padang pada tahun 1978.

Pada kongres tersebut, isu mengenai Hari Pers Nasional muncul dari keinginan para tokoh pers untuk merayakan keberadaan dan kontribusi pers Indonesia di tingkat nasional.

Wartawan pada masa penjajahan memainkan peran krusial dalam melaporkan perjuangan kemerdekaan, menyebarkan informasi tentang kekejaman penjajah, membentuk opini publik, dan menghadapi risiko serta represi sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan nasional.

Salah satu figur perintis dalam sejarah pers nasional adalah Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918) yang kini diakui sebagai Bapak Perintis Persuratkabaran dan Kewartawanan Nasional Indonesia. 

Ia mendirikan majalah "Budi Utomo" pada 1907 yang menjadi salah satu media terkemuka pada zamannya.

Dalam tulisannya, Tirto Adhi Soerjo mengulas berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di Hindia Belanda.

Ia secara terbuka mengkritik ketidakadilan, eksploitasi, dan ketidaksetaraan yang dialami oleh masyarakat pribumi.

Semangat perjuangan para wartawan selama masa penjajahan mendapat pengakuan pada 9 Februari 1946 ketika PWI terbentuk sebagai wadah dan platform bagi aspirasi jurnalis.

Pada saat itu, PWI lahir di tengah-tengah perjuangan bangsa untuk mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman penjajahan. 

Langkah ini diambil untuk memastikan perkembangan berkelanjutan dari pers nasional sebagai lembaga yang merdeka dan bertanggung jawab sesuai dengan landasan nilai Pancasila.

Penetapan ini kemudian diresmikan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1985 oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985.

Selain itu, Hari Pers Nasional menjadi penting karena keberadaan PWI membuat wartawan Indonesia semakin kokoh dan menjadi ujung tombak perjuangan nasional.

Terbentuknya PWI, bersama dengan surat kabar dan pers, selalu terkait erat dengan sejarah lahirnya semangat idealisme perjuangan Indonesia untuk meraih kemerdekaan.

Peran pers sangat signifikan pada masa revolusi fisik dan pertemuan di Yogyakarta pada 8 Juni 1946, di mana tokoh-tokoh surat kabar dan pers nasional bersatu dalam Serikat Penerbit Suratkabar (SPS).

Pendirian Serikat Penerbit Suratkabar (SPS)

Selain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), terdapat organisasi pers lain yang didirikan.

Pada 8 Juni 1946, para tokoh surat kabar dan tokoh pers nasional berkumpul di Yogyakarta dan menyatakan pembentukan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS).

Pendirian Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) pada saat itu menjadi salah satu peristiwa bersejarah Hari Pers Nasional yang muncul dari pemikiran bahwa kelompok penerbit pers nasional perlu diatur dan dikelola secara ideal dan komersial.

Pada masa itu, pers penjajah dan pers asing berupaya mempengaruhi Indonesia.

Faktanya, SPS sudah ada sejak empat bulan sebelum 6 Juni 1946, yaitu bersamaan dengan berdirinya PWI di Surakarta pada 9 Februari 1946.

Oleh karena itu, banyak orang menyamakan kelahiran PWI dan SPS sebagai "kembar siam" karena kedua peristiwa tersebut terjadi secara bersamaan.

Pada pertemuan di Balai Sono Suko di Surakarta pada 9 hingga 10 Februari, wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul.

Mereka berasal dari pemimpin surat kabar, majalah, wartawan pejuang, dan lain sebagainya. Beberapa keputusan penting diambil dalam pertemuan tersebut, termasuk:

  • Disetujui pembentukan organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang dipimpin oleh Mr. Soemanang Soerjowinoto dengan Sudarjo Tjokrosisworo sebagai sekretaris.
  •  Disetujui pembentukan sebuah komisi yang terdiri dari: Sjamsuddin Sutan Makmur (Harian Rakjat, Jakarta), B.M. Diah (Merdeka, Jakarta), Abdul Rachmat Nasution (Kantor Berita Antara, Jakarta), Ronggo Danukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto), Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya), Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang), Sudjono (Berdjuang, Malang), Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta).

Komite yang terdiri dari 10 orang ini juga dikenal sebagai "Panitia Usaha". Pada akhir Februari 1946, mereka berkumpul untuk membahas masalah yang dihadapi oleh dunia pers.

Dalam pertemuan tersebut, mereka memutuskan untuk membentuk suatu wadah yang dapat mengoordinasikan pengusaha surat kabar, yang kemudian diberi nama Serikat Perusahaan Suratkabar.

Dua puluh enam tahun kemudian, muncul Serikat Grafika Pers (SGP) sebagai kelanjutan dari permasalahan percetakan dalam negeri yang semakin merosot sejak tahun 60-an.

Pada Januari 1968, dengan dukungan dari SPS dan PWI, sebuah nota permohonan dikirimkan kepada Presiden Soeharto, meminta dukungan pemerintah untuk membantu memperbaiki kondisi pers nasional.

Dorongan untuk membuat suatu tempat khusus bagi industri percetakan, yang disebut SGP terwujud pada 13 April 1974.

Dewan pengurus awal terdiri dari H.G. Rorimpandey sebagai ketua, M.S.L. Tobing sebagai bendahara, dan anggota-anggota lainnya, seperti Soekarno Hadi Wibowo dan P.K. Ojong.

Pembentukan SGP kemudian disahkan dalam kongres pertamanya di Jakarta pada 4-6 Juli 1974.

Pada 23 Januari 1985, Presiden Soeharto menetapkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. Penetapan ini sebagai pengakuan terhadap peran pers nasional sebagai sarana perjuangan dan pembangunan.

Referensi:

  • Surjomihardjo, A. (1992). Sejarah Pers Indonesia: Buklet Kompas (diterbitkan dalam rangka Hari Pers Nasional). Jakarta: Penerbit Kompas.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/10/07/120000779/mengapa-9-februari-diperingati-sebagai-hari-pers-nasional-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke