4 Mitos Malam 1 Suro

Kalender Jawa merupakan hasil perpaduan antara sistem penanggalan Saka dan Hijriah (Islam).

Penetapan 1 Suro terjadi pada abad ke-17, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) dari Kerajaan Mataram Islam.

Kalender Jawa diciptakan oleh Sultan Agung pada saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru 1 Muharam 1043 Hijriah dan 8 Juli 1633 Masehi.

Sejak saat itu, malam satu Suro diperingati setiap tahun oleh masyarakat Jawa, khususnya bekas wilayah Mataram Islam seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan beragam tradisi.

Beberapa contoh tradisi malam satu Suro yakni Kirab Satu Suro di Surakarta dan Mubeng Beteng serta Tapa Bisu di Yogyakarta.

Bagi masyarakat Jawa, malam satu Suro dianggap sebagai malam yang sakral dan diperingati dengan berbagai ritual, seperti tirakat (menahan hawa nafsu atau berpantang) dan semadi (bermeditasi).

Masyarakat Jawa juga meyakini berbagai mitos serta larangan malam satu Suro.

Berikut ini empat mitos malam satu Suro yang masih dpercaya oleh sebagian masyarakat.

Tidak boleh keluar rumah

Pertanyaan mengenai apakah malam 1 Suro boleh keluar rumah masih menghantui sebagian masyarakat Jawa.

Melansir Kompas Tren, pemerhati budaya sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tundjung W Sutirto, mengungkap mitos larangan keluar rumah saat malam 1 Suro berkaitan dengan Perjanjian Abipraya antara Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam, dan Nyai Roro Kidul.

Dalam mitos yang berkembang, apabila keluar rumah pada malam 1 Suro akan sial karena diyakini akan bertemu dengan pasukan Nyi Roro Kidul yang menuju Keraton Yogyakarta atau Gunung Merapi.

Itulah kenapa tidak boleh keluar saat malam 1 Suro, terlebih jika tidak memiliki keperluan.

Padahal dalam Perjanjian Abipraya konon disebutkan bahwa Nyi Roro Kidul akan membantu Kerajaan Mataram Islam dari musuh.

Karena itu, masyarakat yang pergi ke keraton justru akan terlindungi dari marabahaya, dibandingkan dengan keluar rumah tanpa tujuan.

Tidak boleh membangun rumah

Salah satu larangan malam 1 Suro yang masih dipercaya adalah membangun rumah.

Konon, memulai membangun rumah pada malam 1 Suro bisa membawa kesialan bagi pemiliknya.

Kesialan yang dimaksud seperti mendatangkan sakit bagi penghuninya, penderitaan, terhambatnya rezeki, dan sebagainya.

Tidak boleh pindah rumah

Tidak hanya memulai membangun rumah saja yang tidak boleh dilakukan pada malam satu Suro, tetapi juga pindah rumah.

Akibatnya sama seperti membangun rumah, yakni bisa tertimpa sial apabila berpindah rumah pada malam 1 Suro.

Tidak boleh menggelar pernikahan

Menurut mitos, salah satu hal yang pantang dilakukan saat malam satu Suro adalah menggelar pernikahan.

Konon, menikah saat malam 1 Suro dapat membawa sial bagi pasangan pengantin serta seluruh orang yang terlibat dalam acara.

Ada pula yang mengaitkan larangan ini dengan murka Nyai Roro Kidul. Menikah di malam 1 Suro dapat membuat penguasa laut selatan tersebut marah dan meminta tumbal.

Karena mitos-mitos tersebut, pada zaman dulu setiap malam 1 Suro auranya menjadi mistis dan terkesan berbahaya.

Mitos dan larangan malam 1 Suro mungkin banyak berkaitan dengan peristiwa pada masa pemerintahan Sultan Agung.

Melansir Kompas Tren, malam 1 Suro dimulai ketika Sultan Agung menginginkan rakyat bersatu untuk menggempur Belanda di Batavia (Jakarta).

Untuk menghindari perpecahan, Sultan Agung menyatukan kelompok santri dengan abangan (kelompok Muslim Jawa yang masih mempraktikkan ritual animisme).

Pada 1 Suro atau 1 Muharram, mereka menggelar pengajian bersama serta ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri.

Karena itu, 1 Suro atau 1 Muharam dikeramatkan dan mereka yang melakukan kegiatan selain mengaji, ziarah, dan haul dianggap akan tertimpa sial.

Dari situlah, masyarakat pada malam satu Suro dilarang berpergian kecuali untuk berdoa atau mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral dan keramat.