Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kerajaan Mempawah: Sejarah, Pendiri, Raja-raja, dan Keruntuhan

Cikal-bakal kerajaan ini terkait erat dengan riwayat beberapa kerajaan pendahulunya yang bercorak Hindu dan berdiri pada abad ke-14.

Oleh karena itu, riwayat Kerajaan Mempawah terdiri dari dua periode, yaitu pemerintahan pada masa Hindu dan masa pengaruh Islam (kesultanan).

Sejarah awal

Menurut sejarah, berdirinya Kerajaan Mempawah berakar dari Kerajaan Suku Dayak yang didirikan di Bahana.

Kemudian, Kerajaan Suku Dayak yang dipimpin oleh Patih Gumantar adalah sebuah pemerintahan yang sudah berdiri sendiri sejak sekitar tahun 1380.

Patih Gumantar konon pernah mengundang Gajah Mada untuk berkunjung ke Mempawah. Hal itu dibuktikan dengan adanya keris yang dihadiahkan kepada raja, yang namanya Keris Susuhan.

Dulunya, kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Sidiniang, karena pusat pemerintahannya berada di Pegunungan Sidiniang, Mempawah Hulu.

Kerajaan Mempawah awal ini mengalami perkembangan pesat, hingga menimbulkan keinginan dari Kerajaan Biaju untuk menaklukkannya.

Ambisi Kerajaan Biaju itu mengakibatkan pecah perang antara Mempawah dan Biaju, yang menewaskan Patih Gumantar.

Sepeninggal Patih Gumantar, kekuasaan jatuh ke tangan anaknya yang bernama Patih Nyabakng, di mana Mempawah mengalami kemerosotan dan tidak terdengar lagi.

Baru 1610, muncul tanda-tanda keberadaan Menpawah yang dipimpin oleh Panembahan Kudung, yang bergelar Panembahan Yang Tak Berpusat.

Raja Kudung ini kemudian memindahkan pusat pemerintahan Mempawah dari Sidiniang ke Pekana.

Raja Kudung memerintah hingga meninggal pada 1680. Setelah itu, takhta kerajaan dipegang oleh Panembahan Senggauk, yang memiliki istri bernama Putri Cermin dari Indragiri, Sumatera.

Dari pernikahannya itu, raja dikarunai putri bernama Ratu Mas Indrawati, yang akhirnya dinikahkan dengan Panembahan Muhammad Zainuddin, dari Kerajaan Matan.

Karena tidak memiliki keturunan laki-laki, takhta Panembahan Senggauk diserahkan kepada suami cucunya yang bernama Opu Daeng Menambun pada 1740.

Masuknya pengaruh Islam

Opu Daeng Menambun merupakan keturunan Bugis pertama yang menjadi raja di Mempawah dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara.

Pada masanya, Islam berkembang pesat, hal ini dibuktikan dengan adanya seorang ulama Arab bernama Habib Hussein Alkadrie yang tinggal di Mempawah.

Habib Husein Alqadrie diizinkan Pangeran Mas Surya Negara menempati daerah Kuala Mempawah (Galah Herang), untuk dijadikan sebagai pusat pengajaran agama Islam.

Nantinya, putri raja yang bernama Utin Candramidi, dinikahkan dengan putra Habib Hussein Alkadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alkadrie.

Pada 1766, takhta Mempawah diteruskan oleh putra Pangeran Mas Surya Negara yang bernama Gusti Jamiril, yang bergelar Panembahan Adiwijaya Kusuma Jaya.

Intervensi Belanda

Belanda mendarat di Mempawah pada 1787, ketika pemerintahan Panembahan Adiwijaya dan kerajaan sedang berkembang pesat.

Panembahan Adiwijaya bersama anaknya yang bernama Gusti Mas dan Gusti Jati sangat tidak menyukai kehadiran bangsa penjajah dan dengan gigih mencoba mengusir Belanda.

Pertempuran berlangsung hingga Panembahan Adiwijaya meninggal pada 1790. Setelah itu, Belanda memanfaatkan keadaan dengan melakukan intervensi di dalam istana.

Dalam masa kekosongan kekuasaan itu, Belanda berinisiatif untuk menunjuk Syarief Husein dari Pontianak untuk memegang takhta Mempawah.

Hal ini menimbulkan kemarahan luar biasa, hingga akhirnya Gusti Jati berhasil merebut takhta sebagai raja Mempawah dengan gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin.

Pada masa pemerintahannya, Mempawah menjadi perdagangan di wilayah Kalimantan Barat.

Belanda kembali mencampuri urusan internal kerajaan ketika Gusti Jati mundur dari kekuasaan. Sejak itu, setiap pengangkatan raja baru diharuskan melalui persetujuan Belanda.

Runtuhnya Kerajaan Mempawah

Setelah Belanda menyerah pada 1942, Jepang mulai menguasai Kalimantan dan memerintah secara otoriter.

Bahkan pada 1944, Panembahan Taufik yang menjadi raja Mempawah ditawan Jepang hingga akhir hayatnya.

Jepang kemudian mengangkat Gusti Mustaan, selaku Wakil Panembahan Kesultanan Mempawah, karena putra mahkota belum cukup dewasa.

Setelah dewasa, putra mahkota juga tidak bersedia dinobatkan sebagai Sultan Mempawah karena ingin fokus pada pendidikannya.

Oleh karena itu, yang dianggap sebagai Sultan Mempawah terakhir adalah Panembahan Taufik.

Begitu Perang Dunia II usai dengan kekalahan Jepang, maka Indonesia resmi memerdekakan diri pada 1945.

Setelah kemerdekaan, terjadi perombakan dalam sistem pemerintahan, di mana Mempawah menjadi daerah kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat.

Raja-raja Kerajaan Mempawah

  • Patih Gumantar (± 1380)
  • Raja Kudung (± 1610)
  • Panembahan Senggaok (± 1680)
  • Opu Daeng Menambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara (1740–1761)
  • Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma (1761–1787)
  • Syarif Kasim bergelar Panembahan Mempawah (1787–1808)
  • Syarif Hussein (1808–1820)
  • Gusti Jati bergelar Sri Paduka Muhammad Zainal Abidin (1820–1831)
  • Gusti Amin bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (1831–1839)
  • Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839–1858)
  • Gusti Makhmud bergelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin (1858)
  • Gusti Usman bergelar Panembahan Usman (1858–1872)
  • Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872–1892)
  • Gusti Intan bergelar Ratu Permaisuri (1892–1902)
  • Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin (1902–1944)
  • Pangeran Wira Negara (1943-1946)
  • Panembahan Muda Gusti Mustaaan (1946-1956)

 

Referensi:

  • Taniputera, Ivan. (2017). Ensiklopedi Kerajaan-Kerajaan Nusantara: Hikayat dan Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/24/130000879/kerajaan-mempawah--sejarah-pendiri-raja-raja-dan-keruntuhan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke