Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Chatib Sulaiman: Awal Kehidupan, Pergerakan, dan Wafat

Chatib Sulaiman dikenal sebagai sosok pejuang yang memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. 

Sulaiman pernah menjabat sebagai pemimpin umum khusus Sumatra Barat dalam organisasi Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). 

Dalam PNI Baru, Sulaiman merumuskan pendidikan politik untuk rakyat, taktik, dan strategi perjuangan yang diarahkan pada para kader PNI Baru.

Selain itu, pada masa pendudukan Jepang, Sulaiman juga sempat menjabat sebagai pemimpin Giyugun, barisan tentara militer buatan Jepang. 

Awal Kehidupan

Chatib Sulaiman lahir di Sumpur, Sumatra Barat, tahun 1906.

Chatib Sulaiman merupakan putra dari pasangan suami istri Haji Sulaiman dan Siti Rahma. 

Sewaktu kecil, Sulaiman pertama kali mengenyam pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) atau sekolah dasar di Adabiah, sebuah madrasah di Minangkabau. 

Kegiatan sehari-hari yang dilakukan Sulaiman sewaktu kecil adalah pagi hari berangkat ke sekolah, sore belajar mengaji dan silat, serta malamnya ia menginap di Surau yang terletak di Pasar Mudik, Padang. 

Setelah lulus dari HIS, Sulaiman melanjutkan studinya ke MULO (sekolah menengah pertama). 

Sewaktu duduk di bangku MULO, Chatib Sulaiman sudah mulai menunjukkan pikirannya mengenai kemerdekaan Indonesia. 

Pemikiran Sulaiman ini lantas membuat Belanda khawatir.

Akibatnya, Belanda berusaha mencari cara untuk bisa mengeluarkan Sulaiman dari MULO. 

Belanda pun menggunakan alasan bahwa ketika Sulaiman pergi ke sekolah, ia tidak mengenakan pakaian yang sepatutnya. 

Alhasil, Sulaiman berhenti bersekolah di MULO. 

Akan tetapi, meskipun Sulaiman dikeluarkan dari sekolahnya, wawasannya tidak langsung berhenti begitu saja. Justru, wawasan Sulaiman kian meluas. 

Sulaiman banyak mempelajari tentang sosialisme barat dan timur. Ia juga gemar membaca buku-buku tentang agama-agama besar di dunia. 

Pergerakan 

Pada tahun 1930, Chatib Sulaiman memutuskan untuk pergi ke Padang Panjang. 

Saat itu, Padang Panjang merupakan sebuah kota yang menjadi pusat modernisasi Islam yang ditandai dengan terbentuknya Muhammadiyah dan dua sekolah Islam, yaitu Sumatra Thawalib dan Diniyah School.

Hal inilah yang kemudian membuat Sulaiman tertarik untuk berkiprah di sana. 

Setelah Chatib Sulaiman sampai di Padang Panjang, ia bekerja sebagai seorang guru di HIS Muhammadiyah. 

Sulaiman juga diminta untuk menjadi juru penerjemah sebuah kepanduan milik Sumatra Thawalib bernama El-Hilaal.

Sampai di akhir tahun 1930, terjadi perpecahan di dalam El-Hilaal. 

Khatib dan sahabatnya Leon Salim pun memutuskan untuk mendirikan Kepanduan Indonesia Muslim (KIM) pada Juli 1931. 

Di tengah kesibukannya mengurus KIM, Sulaiman tetap menyempatkan diri untuk membaca buku-buku berbau nasionalis dan sosialis. 

Dari kegemarannya tersebut, secara tidak langsung Sulaiman menumbuhkan jiwa nasionalis di dalam dirinya. 

Kiprah Politik

Pada tahun 1931, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir mendirikan Partai Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI Baru. 

Berkat jiwa nasionalisme Sulaiman yang tinggi, ia didaulat oleh Mohammad Hatta untuk dijadikan sebagai anggota pimpinan umum PNI Baru khusus Sumatra Barat. 

Pada 24 Maret 1933, dalam konferensi pertama PNI Baru di Padang Panjang, Chatib Sulaiman merumuskan pendidikan politik untuk rakyat, taktik, dan strategi yang diarahkan pada para kader PNI Baru. 

Chatib Sulaiman terus berkiprah di PNI Baru sampai masa pendudukan Jepang, tahun 1942. 

Saat Jepang masuk ke Indonesia, Chatib Sulaiman dan Leon Salim mendirikan Pemuda Nippon Raya. 

Organisasi ini bermaksud untuk menghimpun para pemuda dengan tujuan-tujuan tertentu.

Akan tetapi, Jepang sudah mencium niat tersembunyi di balik terbentuknya Pemuda Nippon Raya.

Oleh sebab itu, organisasi tersebut dibubarkan oleh Jepang. 

Pemimpin Giyugun

Pada tahun 1944, Jepang terlibat dalam Perang Asia Timur Raya. 

Saat itu, kondisi Jepang sudah sangat terdesak dan akhirnya mengalami kekalahan. 

Setelah Jepang kalah dalam Perang Asia Timur Raya, Jepang pun mulai berpaling kepada pemimpin rakyat di Indonesia. 

Ketika itu, Jepang melihat bahwa Chatib Sulaiman lah yang paling memiliki kepekaan serta kecerdasan tinggi. 

Jepang kemudian membentuk organisasi semimiliter di Sumatra Barat bernama Giyugun.

Chatib Sulaiman pun direkrut oleh Jepang untuk menjadi pemimpin Giyugun. 

Jabatan Sulaiman sebagai pemimpin Giyugun memberinya kesempatan untuk membangun dan membina kekuatan bersenjata yang dapat digunakan untuk mencapai Indonesia merdeka.

Sebagai pemimpin Giyugun, Sulaiman mengarahkan para pemuda anggotanya untuk disiapkan menjadi seorang tentara untuk Indonesia merdeka. 

Oleh sebab itu, Sulaiman sangat berhati-hati dalam memilih siapa yang akan menjadi anak buahnya. 

Setiap pemuda yang akan bergabung dalam Giyugun diharuskan Sulaiman untuk memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. 

Wafat

Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1949, Chatib Sulaiman yang menjabat sebagai Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah menggelar rapat di Lurah Kincia, Sumatra Barat.

Rapat tersebut dihadiri oleh Bupati militer dan beberapa pimpinan pejuang lainnya. 

Dalam rapat itu, Sulaiman bersama para anggota yang hadir membahas mengenai bagaimana cara mengatasi Belanda yang sudah menguasai Kota Payakumbuh.

Usai berdiskusi, akhirnya hasil rapat memutuskan bahwa Belanda harus diserang dari segala arah lalu menduduki mereka untuk menunjukkan bahwa perjuangan rakyat Indonesia masih ada. 

Akan tetapi, saat Sulaiman dan para pejuang lain hendak bergerak, keberadaan mereka berhasil diketahui oleh Belanda. 

Akibatnya, pada subuh tanggal 15 Januari 1949, saat mereka hendak melaksanakan shalat subuh, mereka diberondong tembakan oleh Belanda. 

Chatib Sulaiman dan beberapa pimpinan perjuangan beserta puluhan orang lainnya tewas seketika. 

Sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan Chatib Sulaiman di Sumatra Barat, namanya pun dijadikan sebagai nama jalan di Padang. 

Referensi: 

  • Kahin, Audrey R. (2013). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Idris, Soewardi. (2001). Pejuang Kemerdekaan Sumbar-Riau. Jakarta: Yayasan Pembangunan Pejuang 1945 Sumatra Tengah.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/17/090000679/chatib-sulaiman--awal-kehidupan-pergerakan-dan-wafat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke