SEMANGAT nasionalisme sangat diperlukan untuk gagasan pembangunan bangsa. Selain agama, olahraga adalah satu-satunya benang merah yang mengikat warga masyarakat dan menumbuhkan semangat patriotisme, serta melawan primordialisme dan desain jahat berbagai kekuatan separatis.
Kita semua tentu masih ingat pengalaman menonton liputan televisi Asian Games 2018 lalu. Ketika Jonathan Christy misalnya, meraih satu emas dalam cabang bulutangkis tunggal putra, kita spontan berseru- “Ya, kita berhasil!”
Pengalaman kecil tersebut menunjukkan betapa ada hubungan emosional yang kuat di antara para penggemar dengan olahraga.
Semua kita memahami bahwa olahraga, apa pun jenis atau cabangnya, pada hakikatnya membantu meningkatkan kualitas diri seperti disiplin, tekad, kerja tim, dan hasrat untuk kebugaran dalam jiwa suatu bangsa.
Tak dapat dipungkiri, setelah revolusi industri, hidup kita menjadi jauh lebih tidak aktif daripada pendahulu kita, berkat berbagai kenyamanan yang dibawa oleh kemajuan teknologi.
Banyak dari pencapaian ilmiah yang kita terima begitu saja, telah membuat hidup kita jauh lebih mudah sehingga mengurangi tingkat aktivitas fisik kita.
Namun, begitu kita menyukai dan menjalankan aktivitas berolahraga secara teratur, kebajikan-kebajikan seperti: kerja tim, etika, komitmen, dan sportivitas menjadi kualitas yang melekat seumur hidup dan olaraga mengajarkan itu.
Billie Jean King, mantan petenis nomor satu Amerika Serikat pernah berkata begini, ‘Olahraga mengajari Anda karakter. Ia mengajari Anda bermain sesuai aturan. Ia mengajari Anda untuk mengetahui bagaimana rasanya menang dan kalah. Singkat kata, olahraga mengajari Anda tentang kehidupan.”
Selain dapat meningkatkan perasaan nasionalisme dan mengembangkan karakter (diri) bangsa, olahraga dapat menjadi wahana yang dapat membantu kita dalam membimbing kaum muda ke jalan hidup yang benar.
Di Nairobi, Afrika, misalnya, Mathare Youth Sports Association (MYSA) telah menggunakan program sepak bola remaja di daerah kumuh untuk membawa perubahan dan harapan dalam kehidupan banyak anak miskin di daerah kumuh.
MYSA juga memanfaatkan sepak bola sebagai cara untuk mengatasi masalah seperti anak putus sekolah, dan maraknya penyalahgunaan narkoba di daerah kumuh.
MYSA menjadikan para pemain Mathare United FC yang berasal dari daerah kumuh Nairobi menjadi panutan dan sumber inspirasi bagi semua anak di daerah kumuh lainnya di seluruh Nairobi.
Untuk maksud itu para pemain muda itu wajib melakukan 80 jam pelayanan masyarakat per bulan, pembersihan sampah di daerah kumuh sebagai bagian dari tujuan menciptakan lingkungan nan lestari.
Pentingnya memiliki model peran yang tepat di dunia olahraga diringkas dengan tepat dalam kata-kata Idowu Koyenikan, penulis Wealth for All Africans, “Tunjukkan kepada saya pahlawan yang dijunjung oleh pemuda di negara Anda, dan saya akan memberi tahu Anda masa depan negara Anda."
Sementara itu, di Brasil, filsuf pendidikan terkemuka, Paulo Freire (1992) mendorong agar pemerintah dan masayarakat memanfaatkan sepak bola sebagai wahana guna membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berkualitas unggul.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.