Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Contoh Teks Editorial UU Cipta Kerja Beserta Fakta dan Opininya

Kompas.com - Diperbarui 16/12/2021, 17:02 WIB
Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
Arum Sutrisni Putri

Tim Redaksi

Sumber KBBI

KOMPAS.comTeks editorial adalah tulisan berisi analisis subyektif berdasarkan fakta dan data. Berikut ini contoh teks editorial UU Cipta Kerja beserta fakta dan opininya:

Sebelum disahkan pada 3 November 2020, Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja menuai banyak pro kontra. Berbagai lapis elemen masyarakat memiliki pendapat berbeda soal UU dengan nama lain Omnibus Law ini.

Pendapat tersebut dapat dituangkan dalam tulisan. Tulisan berisi opini dan analisis subyektif atas suatu topik atau isu yang sedang ramai dibahas disebut teks editorial.

Menurut KBBI, pengertian editorial adalah artikel dalam surat kabar atau majalah yang mengungkapkan pendirian editor atau pimpinan surat kabar (majalah) tersebut mengenai beberapa pokok masalah.

Dalam teks editorial, kita dapat menyampaikan opini disertai fakta yang menguatkan argumen yang hendak diungkapkan. Opini berisi pendapat atau pandangan penulis editorial. Sedangkan fakta adalah data atau bukti yang menguatkan pandangan tersebut.

Baca juga: Teks Editorial: Pengertian, Ciri-ciri, Struktur, dan Kaidah Kebahasaan

Contoh Teks Editorial tentang UU Cipta Kerja

Contoh teks editorial 1:

Pelajar Menolak UU Cipta Kerja

Gelombang penolakan terhadap UU Cipta Kerja begitu masif. Berbagai lapisan elemen masyarakat turut terlibat, termasuk pelajar. Beberapa orang memandang rendah penolakan yang disampaikan oleh pelajar. Pelajar dianggap hanya ikut-ikutan dan tidak membaca rancangannya. Pandangan tersebut tidak tepat.

Sejak awal, UU Cipta Kerja sudah cacat prosedur. Rancangan dan pengesahannya tidak transparan, serta terjadi kejanggalan. Draf berubah-ubah, bahkan sampai palu diketok pun publik masih kesulitan mengakses naskah aslinya. Jumlah halaman tidak pasti. Logikanya, bila sudah disahkan, maka undang-undang tersebut bersifat final. Namun masih ada saja salah ketik dan beberapa pasal yang terselip. Sampai Selasa, 3 November 2020 lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani UU Cipta Kerja, masih terdapat salah ketik. Cacat prosedur tersebut lebih dari cukup untuk jadi alasan pelajar turut berpendapat. Pada dasarnya ada endapan kekecewaan dalam masyarakat yang membuat aksi menjadi masif.

Seharusnya kita melihat keterlibatan pelajar dalam UU Cipta Kerja, sebagai peran anak muda untuk membangun bangsa. Sebagai warga negara, mereka tahu haknya serta berani berpendapat bila ada kejanggalan. Kita patut bangga, bukannya menumpulkan nalar kritis dengan memandang rendah. Sebaliknya, kita harus menjelaskan tentang risiko-risiko selama aksi, lalu menjelaskan berbagai macam ruang alternatif untuk berpendapat.

Kalimat fakta:

Kalimat fakta dalam editorial di atas ditengarai melalui penandatanganan UU Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo pada 03/11/2020 dan salah ketik naskah UU Cipta Kerja yang sudah final.

Kalimat opini:

Sedangkan kalimat opini terdapat pada seluruh paragraf perama dan kedua.

Baca juga: Contoh Teks Editorial

Contoh teks editorial 2:

Oknum dalam Aksi UU Cipta Kerja

Warganet menangkap sejumlah kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian selama aksi penolakan UU Cipta Kerja. Setiap ada kekerasan oleh aparat kepolisian, mereka selalu menarasikan tindakan tersebut akibat oknum. Bila setiap kekerasan disebut oknum, seberapa banyak oknum dalam kepolisian?

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) mengadvokasi kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian. Mereka mencatat dalam siaran pers 1 Juli 2020, sepanjang 2019 sedikitnya terjadi 78 kasus pelanggaran dengan korban mencapai 6.128 orang. 51 di antaranya meninggal dunia, 324 korban merupakan anak-anak. Dari 78 kasus tersebut, 67 kasus di antaranya dilakukan oleh kepolisian dari sektor (polsek), resort (polres), daerah (polda), sampai Mabes Polri.

Dengan kapasitas yang terbatas, data YLBHI cukup mencengangkan. Sebagai institusi yang memiliki tanggung jawab pada publik dengan melindung dan mengayomi, kepolisian malah melakukan kekerasan. Dengan jumlah korban sebanyak itu, serta secara pelakunya terlibat secara struktural, maka kinerja polisi perlu dipertanyakan. Pajak publik salah satunya untuk anggaran kepolisian. Seharusnya polisi berpihak pada publik, bukan pada penguasa. Kekerasan dan kesewenang-wenangan tidak dibenarkan.

Kalimat fakta:

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com