Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Contoh Teks Editorial UU Cipta Kerja Beserta Fakta dan Opininya

KOMPAS.com - Teks editorial adalah tulisan berisi analisis subyektif berdasarkan fakta dan data. Berikut ini contoh teks editorial UU Cipta Kerja beserta fakta dan opininya:

Sebelum disahkan pada 3 November 2020, Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja menuai banyak pro kontra. Berbagai lapis elemen masyarakat memiliki pendapat berbeda soal UU dengan nama lain Omnibus Law ini.

Pendapat tersebut dapat dituangkan dalam tulisan. Tulisan berisi opini dan analisis subyektif atas suatu topik atau isu yang sedang ramai dibahas disebut teks editorial.

Menurut KBBI, pengertian editorial adalah artikel dalam surat kabar atau majalah yang mengungkapkan pendirian editor atau pimpinan surat kabar (majalah) tersebut mengenai beberapa pokok masalah.

Dalam teks editorial, kita dapat menyampaikan opini disertai fakta yang menguatkan argumen yang hendak diungkapkan. Opini berisi pendapat atau pandangan penulis editorial. Sedangkan fakta adalah data atau bukti yang menguatkan pandangan tersebut.

Contoh Teks Editorial tentang UU Cipta Kerja

Contoh teks editorial 1:

Pelajar Menolak UU Cipta Kerja

Gelombang penolakan terhadap UU Cipta Kerja begitu masif. Berbagai lapisan elemen masyarakat turut terlibat, termasuk pelajar. Beberapa orang memandang rendah penolakan yang disampaikan oleh pelajar. Pelajar dianggap hanya ikut-ikutan dan tidak membaca rancangannya. Pandangan tersebut tidak tepat.

Sejak awal, UU Cipta Kerja sudah cacat prosedur. Rancangan dan pengesahannya tidak transparan, serta terjadi kejanggalan. Draf berubah-ubah, bahkan sampai palu diketok pun publik masih kesulitan mengakses naskah aslinya. Jumlah halaman tidak pasti. Logikanya, bila sudah disahkan, maka undang-undang tersebut bersifat final. Namun masih ada saja salah ketik dan beberapa pasal yang terselip. Sampai Selasa, 3 November 2020 lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani UU Cipta Kerja, masih terdapat salah ketik. Cacat prosedur tersebut lebih dari cukup untuk jadi alasan pelajar turut berpendapat. Pada dasarnya ada endapan kekecewaan dalam masyarakat yang membuat aksi menjadi masif.

Seharusnya kita melihat keterlibatan pelajar dalam UU Cipta Kerja, sebagai peran anak muda untuk membangun bangsa. Sebagai warga negara, mereka tahu haknya serta berani berpendapat bila ada kejanggalan. Kita patut bangga, bukannya menumpulkan nalar kritis dengan memandang rendah. Sebaliknya, kita harus menjelaskan tentang risiko-risiko selama aksi, lalu menjelaskan berbagai macam ruang alternatif untuk berpendapat.

Kalimat fakta:

Kalimat fakta dalam editorial di atas ditengarai melalui penandatanganan UU Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo pada 03/11/2020 dan salah ketik naskah UU Cipta Kerja yang sudah final.

Kalimat opini:

Sedangkan kalimat opini terdapat pada seluruh paragraf perama dan kedua.

Contoh teks editorial 2:

Oknum dalam Aksi UU Cipta Kerja

Warganet menangkap sejumlah kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian selama aksi penolakan UU Cipta Kerja. Setiap ada kekerasan oleh aparat kepolisian, mereka selalu menarasikan tindakan tersebut akibat oknum. Bila setiap kekerasan disebut oknum, seberapa banyak oknum dalam kepolisian?

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) mengadvokasi kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian. Mereka mencatat dalam siaran pers 1 Juli 2020, sepanjang 2019 sedikitnya terjadi 78 kasus pelanggaran dengan korban mencapai 6.128 orang. 51 di antaranya meninggal dunia, 324 korban merupakan anak-anak. Dari 78 kasus tersebut, 67 kasus di antaranya dilakukan oleh kepolisian dari sektor (polsek), resort (polres), daerah (polda), sampai Mabes Polri.

Dengan kapasitas yang terbatas, data YLBHI cukup mencengangkan. Sebagai institusi yang memiliki tanggung jawab pada publik dengan melindung dan mengayomi, kepolisian malah melakukan kekerasan. Dengan jumlah korban sebanyak itu, serta secara pelakunya terlibat secara struktural, maka kinerja polisi perlu dipertanyakan. Pajak publik salah satunya untuk anggaran kepolisian. Seharusnya polisi berpihak pada publik, bukan pada penguasa. Kekerasan dan kesewenang-wenangan tidak dibenarkan.

Kalimat fakta:

Paragraf fakta dalam teks editorial di atas terdapat pada data yang dirilis YLBHI di paragraf kedua.

Kalimat opini:

Sedangkan opini dapat ditengarai di paragraf akhir. Salah satu kalimat yang mewakili opini dari keseluruhan teks editorial ada pada kalimat "Seharusnya polisi berpihak pada publik, bukan pada penguasa".

Contoh tek editorial 3:

Contoh berikut ini diambil dari tajuk rencana koran Kompas edisi Sabtu, 17 Oktober 2020.

Tajuk Rencana: Pendidikan dalam UU Cipta Kerja

Jumat (16/10/2020), ada berita tentang pendidikan, dalam konteks RUU Cipta Kerja yang disetujui DPR dan pemerintah untuk disahkan menjadi UU.

Ada pandangan bernuansa keberatan atas pengaitan pendidikan dengan usaha komersial. Menurut Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Hafid Abbas, negara ini lahir karena memperlakukan pendidikan bukan sebagai alat komersialisasi. Kekhawatiran Prof Hafid merujuk pada Paragraf 12 RUU Cipta Kerja yang menyebutkan (Ayat 1) ”Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang (UU) ini.”

Kita sepandangan, prinsip dasar pendidikan adalah upaya untuk menghasilkan insan unggul Indonesia, yang selain berkeahlian baik, juga berkarakter luhur. Namun, dalam perjalanan penyelenggaraan pendidikan, kita juga mengamati bahwa untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan biaya yang makin lama makin besar. Dalam peribahasa Jawa disebutkan, jer basuki mawa bea. Keunggulan itu ada ongkosnya.

Di Indonesia, pendidikan diselenggarakan bersama antara sekolah negeri yang didanai pemerintah dan sekolah yang diselenggarakan badan swasta. Keduanya mengemban misi dan idealisme sama, tetapi jalur praksisnya berbeda.

Juru Bicara Tim Kajian Akademis RUU Cipta Kerja Federasi Guru Independen Indonesia Halimson Redis mengamati, saat ini masih ada sekolah swasta di pinggiran dengan fasilitas minim dan kesejahteraan guru terabaikan. Terhadap pengamatan itu tersirat kesan: pertama, oleh sebab keterbatasan dan harus menjunjung idealisme, sekolah sulit berkembang karena dikelola dengan manajemen nonkomersial.

Namun, dipandang dari sisi lain; kedua, bisa juga ditarik kesimpulan, menurut ilmu manajemen, sekolah yang masih berfasilitas dan berkesejahteraan minim ini belum terkelola dengan baik atau dengan manajemen ”profesional”.

Kita belajar dari sekolah dan perguruan tinggi di luar negeri yang punya reputasi bagus, uang kuliah per tahun bisa mencapai lebih dari 50.000 dollar AS atau sekitar Rp 750 juta. Sekadar melihat biayanya, kita bisa serta-merta menyebut, itu sih sudah terlalu komersial. Namun, kita paham, reputasi atau mutu dibangun dengan menggaji guru, dosen, dan guru besar dengan baik. Segala sesuatu mesti sepadan dengan hasil yang ingin dicapai. ”Anda memanen apa yang Anda semaikan”.

Menyongsong Revolusi Industri 4.0, yang ditandai dengan merebaknya aplikasi teknologi baru, seperti kecerdasan buatan, mahadata, juga internet untuk segala, dibutuhkan laboratorium baru dengan investasi tidak kecil. Sekolah dan perguruan tinggi negeri bisa mengandalkan dana dari pemerintah, tetapi sekolah dan perguruan tinggi swasta harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan yang ada.

Kita sepandangan, prinsip dasarnya pendidikan tidak dikomersialisasi. Namun, kita perlu realistis menyikapi kebutuhan, justru untuk membuat pendidikan di Indonesia tetap unggul, berdaya saing, dan mencapai tujuan secara mandiri.

Penerapan manajemen yang jitu—efektif tanpa terkesan komersial—dibutuhkan untuk pendidikan yang unggul.

Kalimat fakta:

Fakta teks editoral di atas terdapat dalam poin berikut:

  • Paragraf 12 RUU Cipta Kerja yang menyebutkan (Ayat 1) yang terdapat dalam paragraf kedua
  • Paragraf kelima yang, tepatnya pada kalimat "Juru Bicara Tim Kajian Akademis RUU Cipta Kerja Federasi Guru Independen Indonesia Halimson Redis mengamati, saat ini masih ada sekolah swasta di pinggiran dengan fasilitas minim dan kesejahteraan guru terabaikan."
  • Paragraf ketujuh mengenai uang kuliah per tahun bisa mencapai lebih dari 50.000 dollar AS atau sekitar Rp 750 juta

Kalimat opini:

Sedangkan opininya terdapat dalam poin berikut:

Contoh teks editorial 4:

Contoh berikut ini diambil dari tajuk rencana koran Kompas edisi Jumat, 3 Januari 2020.

Tajuk Rencana: UU Sapu Jagat Politik

Diskursus soal omnibus law yang awalnya hanya diarahkan untuk memperbaiki iklim investasi dan lapangan kerja kini merambah ke bidang politik.

Kementerian Dalam Negeri mengintroduksi UU sapu jagat (omnibus law) guna menyederhanakan sistem politik. Gagasan itu dilontarkan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Bahtiar, seperti dikutip Kompas, 2 Januari 2020. Bahtiar mengatakan, pemerintah dan DPR akan menyederhanakan sistem politik dan pemerintahan dengan menggabungkan sejumlah undang-undang dalam UU sapu jagat. Selain menghemat anggaran negara, pembentukan UU sapu jagat bidang politik memastikan munculnya pemimpin terbaik berdasarkan proses elektoral yang terukur.

Omnibus law lebih banyak dikenal dalam sistem common law seperti Amerika Serikat dan Australia. Adapun Indonesia menganut sistem civil law. Diskursus soal omnibus law diperkenalkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo, yang sebelumnya memperkenalkan retorika Nawacita, dalam Sidang Umum MPR 2019. Setelah itu, diskursus soal omnibus law menjadi magnet politik baru, mirip dengan retorika Revolusi Mental.

Ada kecenderungan UU sapu jagat yang awalnya difokuskan dalam bidang ekonomi, seperti UU Cipta Lapangan Kerja, UU Usaha Kecil, Menengah, dan Mikro, serta UU Perpajakan, mulai merambah ke sektor politik. Semangat dasar dari UU sapu jagat adalah melakukan debirokratisasi untuk mengatasi overregulasi dalam sistem hukum Indonesia. Ada gejala atau mungkin juga malah ada alam pikir, sistem hukum yang dibangun sebagai konsensus negara demokrasi dianggap sebagai hambatan untuk mewujudkan tujuan politik elite.

Kita mendorong pemerintah dan elite politik kembali ke semangat konstitusi. Kontrak sosial bangsa ini adalah membangun Indonesia sebagai negara hukum demokratis dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Hukum dibuat untuk mencegah kehadiran otoritarianisme baru dan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Belum lahirnya pemimpin baik tidaklah semata-mata karena kekeliruan desain pemilihan pemimpin. Pemimpin yang baik akan lahir dalam sistem perekrutan politik yang merupakan tanggung jawab partai politik dan sistem politik yang bersih dari korupsi dan nepotisme. Reformasi partai politik menjadi jawaban. Sejarah pemilihan kepala daerah telah melahirkan pemimpin lokal yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan oligarki.

Menjadi urusan pemerintah dan DPR menyederhanakan sistem politik. Namun, proses ke sana tidak boleh mengingkari partisipasi rakyat. Rakyat tetap pemilik kedaulatan negeri ini dan jangan pernah berpikir merampas kedaulatan rakyat dan merampas kebebasan sipil.

Kita kutip kembali nasihat Thrasymacus dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan karya Haryatmoko, ”Hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang berkuasa. Sedang bagi mereka yang lemah, hukum tidak berdaya membela.”

Kalimat fakta:

Fakta teks editoral di atas terdapat dalam poin berikut:

  • Paragraf kedua yang memuat gagasan itu dilontarkan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Bahtiar
  • Paragraf ketiga soal omnibus law yang diperkenalkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo, yang sebelumnya memperkenalkan retorika Nawacita, dalam Sidang Umum MPR 2019

Kalimat opini:

Sedangkan opininya terdapat dalam kalimat terakhir di paragraf empat yang menyebut "Ada gejala atau mungkin juga malah ada alam pikir, sistem hukum yang dibangun sebagai konsensus negara demokrasi dianggap sebagai hambatan untuk mewujudkan tujuan politik elite".

Kalimat tersebut mewakili seluruh opini yang berusaha diutarakan dalam contoh teks editorial di atas.

https://www.kompas.com/skola/read/2020/11/17/160000569/contoh-teks-editorial-uu-cipta-kerja-beserta-fakta-dan-opininya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke