Hingga akhir tahun 1928, panjang jalan kereta api dan trem di Indonesia mencapai 7.464 km dengan perincian rel milik pemerintah sepanjang 4.089 km dan swasta sepanjang 3.375 km.
Pada 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang.
Perkeretaapian Indonesia diambil alih Jepang dengan perubahan nama menjadi Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api).
Baca juga: Ingat, Jadwal Keberangkatan Kereta Api dari Jakarta Berubah Mulai Hari Ini
Selama penguasaan Jepang, operasional kereta api hanya diutamakan untuk kepentingan perang.
Salah satu pembangunan di era Jepang adalah lintas Saketi-Bayah dan Muaro-Pekanbaru.
Tujuannya untuk pengangkutan hasil tambang batu bara guna menjalankan mesin-mesin perang Jepang.
Di sisi lain, Jepang melakukan pembongkaran rel sepanjang 473 km yang diangkut ke Burma untuk pembangunan kereta api di sana.
Baca juga: Jalur Ganda Kereta Api Difungsikan, Antisipasi Lonjakan Penumpang Natal dan Tahun Baru
Beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dilakukan pengambilalihan stasiun dan kantor pusat kereta api yang dikuasai Jepang.
Puncaknya adalah pengambilalihan Kantor Pusat Kereta Api Bandung pada 28 September 1945 yang kini diperingati sebagai Hari Kereta Api Indonesia.
Momen ini sekaligus menandai berdirinya Djawatan Kereta Api Indonesia Republik Indonesia (DKARI).
Ketika Belanda kembali ke Indonesia pada 1946, Belanda membentuk kembali perkeretaapian di Indonesia bernama Staatssporwegen atau Verenigde Spoorwegbedrif (SS atau VS).
Staatssporwegen atau Verenigde Spoorwegbedrif (SS atau VS) adalah gabungan SS dan seluruh perusahaan kereta api swasta (kecuali DSM).
Baca juga: Tips Menjaga Barang Saat Traveling Naik Kereta Api
Berdasarkan perjanjian damai Konfrensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, dilaksanakan pengambilalihan aset-aset milik pemerintah Hindia Belanda.
Pengalihan dalam bentuk penggabungan antara DKARI dan SS atau VS menjadi Djawatan Kereta Api (DKA) tahun 1950.
Pada 25 Mei DKA berganti menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA).