Indonesia Emas: Visi atau Ilusi?

Bisakah kita meningkatkan indeks inovasi, HDI, PISSA, serta efisiensi birokrasi dalam waktu sesingkat itu? Bisakah kita membalikan sejarah dalam waktu 20 tahun untuk mencapai Indonesia Emas?

Tapi jangan salah mengerti, kalau Indonesia menjadi lima besar dunia menurut kalkulasi ekonomi masuk akal, karena sumber daya alam kita tidak akan habis.

Itu anuerah Tuhan  untuk Indonesia, hanya karena salah urus maka akhirnya  yang memiliki itu semua bukan kita.

Kita merasa senang dihibur dengan produk domestik bruto (PDB) padahal yang mempunyai hartanya siapa? Disebut Indonesia secara legal memang benar tapi substansinya milik siapa? Lari kemana kekayaan kita? 

Modal sosial pun semakin hari semakin menipis, korupsi yang gigantik, sehingga sekarang ramai memelesetkan  trias politika menjadi trias koruptika, selain mengganggu pembangunan juga  mengakibatkan kepercayaan pemilik modal di tingkat global dan juga nasional semakin menipis.

Demokrasi semakin tidak jelas bahkan seperti menuju titik nadir  karena tidak dibangun di atas budaya literasi.  

Bonus demografi yang sering dijadikan kebanggaan juga bersifat semu karena mayoritas kualitasnya bukan kualitas pekerja kerah putih akan tetapi pekerja kerah biru alias kuli.

Kaum milenial dan generasi Z banyak yang mengalami masalah kejiwaan, malah menurut sebuah survei 20 persen mahasiswa di bandung berpikir serius untuk bunuh diri, 30,5 persen  mengalami depresi (Kompas.com, 12/10/2019).

Maka tidak heran apabila kasus bunuh diri dan kejahatan yang dilakukan oleh mahasiswa dari perguruan tinggi terkenal  semakin sering terjadi. 

Memiliki visi adalah sebuah keharusan untuk menentukan arah perjalan ke masa depan, akan tetapi hendaknya berbasis kepada rasioniltas dan data yang akurat bukan kepada asumsi-asumsi normatif-kauntitatif dan menyembunyikan muatan kualitatif seperti sebuah ilusi.

Suherman

Analis Data Ilmiah