Dengan sekuat tenaga Clinton melobi Kongress Amerika, dengan dukungan para konglomerat, untuk menyetujui normalisasi permanen hubungan dagang Amerika dan China. Normalisasi permanen ini diperlukan untuk meminimalisir pengaruh politik Washington atas hubungan dagang Amerika-China.
Pada bulan September 2000, Senat Amerika menyetujui undang-undang normalisasi permanen tersebut.
Bagi Clinton ini adalah kemenangan yang akan memuluskan usaha memasukkan China ke WTO (World Trade Organization). Kemenangan ini adalah juga hadiah untuk kalangan pebisnis Amerika yang terus meneteskan air liur melihat potensi pasar China yang berpenduduk 1.3 miliar.
Setahun kemudian, pada awal Desember 2001, dengan dukungan Amerika dan di bawah komando Jiang Zemin, China menjadi anggota WTO. Menurut Clinton masuknya China ke dalam WTO akan memperkuat pertumbuhan ekonomi dan keamanan nasional Amerika, di satu sisi, dan akan mendorong perkembangan demokrasi dan pengindahan hak-hak asasi manusia di China, di sisi lain.
Masuknya China ke WTO adalah kemenangan Clinton dan korporasi Amerika, namun kekalahan bagi kaum buruh. Mereka berusaha sekuat tenaga--dengan dukungan para aktivis HAM dan gerakan lingkungan dan anti-globalisasi--menggagalkan masuknya China ke WTO.
Baca juga: Bangsa Viking Lebih Dulu Menghuni Amerika Sebelum Columbus Datang
Namun kekuatan bisnis berpengaruh lebih kuat terhadap Kongress dan Pemerintah Amerika.
Kekalahan ini terbukti telak. Setelah China masuk WTO, industri manufaktur Amerika pada berhijrah ke China.
Akibatnya, muncul wilayah “Sabuk Karat” (Rust Belt) yang membentang dari Illinois di Midwest hingga New York di Timur, dan Pennsylvania dan West Virginia. Pabrik-pabrik yang dulunya tulang punggung manufaktur Amerika kini mangkrak penuh karat.
Munculnya wilayah “Sabuk Karat” bisa dikaitkan dengan transformasi struktur ekonomi Amerika dari ekonomi industrial (industrial economy) ke ekonomi servis (service economy). Transformasi ekonomi sering dianggap basis pergeseran budaya Amerika dari kebudayaan modern ke kebudayaan posmodern.
Namun bencana yang dialami kaum buruh nyata dan konkret. Transformasi ekonomi Amerika berarti deindustrialisasi Amerika atau penggembosan industri manufaktur.
Deindustrialisasi Amerika telah mulai sejak dasawarsa 1970-an dengan membanjirnya ke Amerika produk-produk Jerman dan Jepang, yang bangkit dari reruntuhan Perang Dunia II dengan bantuan Amerika.
Kebangkitan China menuntaskan deindustrialisasi Amerika. Lima belas tahun setelah China didorong masuk WTO oleh Amerika, diperkirakan Amerika kehilangan hampir enam juta pekerjaan manufaktur.
Baca juga: China Rencanakan Membawa Sampel dari Mars ke Bumi Tahun 2031
Tidak semua lapangan kerja itu pindah ke China, namun dalam retorika Donald Trump itulah yang terjadi. Dalam kampanye sepanjang tahun 2016, Trump mengobral janji akan membawa kembali pekerjaan manufaktur ke Amerika.
Janji ini janji lidah tak bertulang yang tidak mungkin berdampak pada perubahan ekonomi dan akibatnya. Namun para buruh terkecoh dan memilih Trump menjadi presiden.
Malapetaka kaum buruh Amerika adalah bonanza bisnis Amerika dan ekonomi China. Bonanza ini terlihat pada peningkatan FDI Amerika di China dalam kurun 30 tahun sejak awal 1990-an.