Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi: Kerusakan akibat Asteroid Pembunuh Dinosaurus Lebih Parah dari Perkiraan

Kompas.com - 22/03/2022, 19:03 WIB
Monika Novena,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebuah studi menemukan bukti baru mengenai dampak yang terjadi usai asteroid pemusnah dinosaurus menabrak Bumi, 66 juta tahun yang lalu.

Studi tersebut menyebut sejumlah besar belerang yang volumenya lebih dari perkiraan sebelumnya terlempar hingga ke lapisan stratosfer Bumi.

Usai terlempar ke udara, awan besar gas yang mengandung belerang itu kemudian menghalangi Matahari dan mendinginkan Bumi selama beberapa dekade hingga berabad-abad.

Itu belum usai. Studi baru ini menemukan awan mengandung belerang itu kemudian jatuh sebagai hujan asam mematikan di Bumi, mengubah kimia lautan selama puluhan ribu tahun.

Baca juga: Temuan Fosil Dinosaurus Triceratops Terlengkap Ungkap Kehidupannya di Masa Lalu

"Kami telah meremehkan jumlah belerang yang tercipta oleh dampak asteroid ini," ungkap James Witts, peneliti studi dan dosen di University of Bristol di Inggris.

Akibatnya, perubahan iklim yang terkait dengan peristiwa tersebut jauh lebih besar daripada yang diduga sebelumnya.

Fakta bahwa belerang yang terus mengalir ke permukaan Bumi begitu lama ini pun dapat membantu menjelaskan mengapa butuh waktu yang lama bagi kehidupan, terutama di laut untuk pulih. Ini karena beberapa belerang yang jatuh ke daratan kemudian juga hanyut ke lautan.

Penemuan tak disengaja

Mengutip Live Science, Selasa (22/3/2022) temuan ini sebenarnya terjadi secara kebetulan.

"Itu sama sekali bukan sesuatu yang direncanakan," kata Witts.

Tim peneliti awalnya berencana untuk mempelajari geokimia cangkang purba di dekat Sungai Brazos di Falls County, Texas. Tempat ini berada di bawa air selama kepunahan Kapur akhir, ketika dinosaurus non-unggas punah.

Tempat tersebut lokasinya juga tak terlalu jauh dari kawah Chicxulub di Semenanjung Yucatan, Meksiko, tempat asteroid berdiameter 10 kilometer menghantam.

Saat itu peneliti mengambil beberapa sampel sedimen di lokasi yang tak mereka rencanakan untuk dilakukan.

Sampel kemudian dibawa ke University of St Andrews di Skotlandia untuk kemudian dianalisis berbagai isotop belerang atau variasi belerang yang memiliki jumlah neutron berbeda dalam inti mereka.

Hasil analisis menemukan sinyal yang tak biasa. Isotop belerang memiliki perubahan kecil yang tak terduga pada massanya. Perubahan itu terjadi ketika belerang memasuki atmosfer dan berinteraksi dengan sinar ultraviolet (UV).

"Ini benar-benar hanya bisa terjadi dalam dua skenario, atmosfer yang tak memiliki oksigen di dalamnya atau memiliki begitu banyak kandungan belarang. Kandungan belerang naik sangat tinggi ke atmosfer beroksigen," papar Witts.

Baca juga: Kapan Asteroid Pemusnah Dinosaurus Tabrak Bumi? Peneliti Temukan Jawabannya

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com