Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Covid-19 Bisa Bikin Otak Lemot dan Pelupa? Ini Penjelasan Ahli

Kompas.com - 05/10/2021, 17:31 WIB
Ellyvon Pranita,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Gejala Covid-19 dari hari ke hari semakin bervariasi, tidak hanya demam, hilangnya bau dan rasa, tetapi pasien yang telah dinyatakan sembuh dari Covid-19 dikabarkan bahwa otak juga bisa menjadi lambat berpikir (lemot) dan pelupa.

Seorang ahli saraf sekaligus Peneliti di Glenn Biggs Institute for Alzheimer's and Neurodegenerative Diseases di University of Texas Health Science Center, San Antonio, Dr. Gabriel de Erausquin sempat mengungkapkan kekhawatirannya terhadap virus SARS-CoV-2 yang dapat merusak otak.

"Kami takut SARS-CoV-2 akan menyerang otak," kata Gabriel dalam pemberitaan Kompas.com, (6/1/2021).

Ketakutan mereka terbukti beralasan, meskipun kerusakan kemungkinan berasal dari tubuh dan respons otak terhadap virus corona, ketimbang karena virus itu sendiri. 

Banyak pasien yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19 dipulangkan dengan gejala seperti yang berhubungan dengan cedera otak.

Benarkah Covid-19 bisa membuat pasien tersebut menjadi lambat dalam berpikir (lemot), dan pelupa?

Baca juga: Studi Baru: Pernah Terinfeksi Covid-19 Sekalipun Bergejala Ringan, Berisiko Kehilangan Jaringan Otak

 

Menjawab apakah Covid-19 bisa bikin daya pikir otak menjadi lemot, Dokter Spesialis Penyakit Dalam, dr Wirawan Hambali SpPD mengatakan, efek penurunan daya pikir seperti lebih lambat daripada sebelumnya atau sering disebut lemot, dan pelupa itu bisa saja terjadi.

Dijelaskan Wirawan, tentu untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana dampak Covid-19 terhadap sistem neurologi bisa teratasi, tentu juga harus membahas bagaimana long Covid-19 ini bisa terjadi.

Teorinya banyak, ada yang mengatakan long covid ini bisa terjadi karena adanya suatu inflamasi atau peradangan yang berkepanjangan.

Adapula ahli yang berteori bahwa ketika Covid-19 itu masuk ke tubuh seseorang, itu akan terjadi suatu reaksi autoimun. 

"Ya karena virus (SARS-CoV-2) ini kan suatu benda asing, kemudian dikenali secara progestif, dan si antibodi tubuh yang terbentuk ini bisa jadi pada suatu kondisi tertentu itu justru akan menyerang tubuh kita sendiri, yaitu suatu kondisi autoimun mecanism (mekanisme autoimun)," kata Wirawan.

Ada juga teori yang menyebutkan bahwa, long Covid-19 ini bisa terjadi akibat fibrosis, yang juga disebut dengan suatu jaringan yang tidak fungsional.

Baca juga: Efek Covid-19 pada Otak, Volume Materi Abu-abu Menurun

Ilutrasi otak yang mengalami disfungsi kognitif setelah sembuh dari Covid-19freepik Ilutrasi otak yang mengalami disfungsi kognitif setelah sembuh dari Covid-19

Contoh dari dampak long Covid, yakni pada organ paru, yang harusnya jaringannya normal, setelah terkena Covid-19 dan rusak, maka itu jaringannya rusak dan sembuh itu tergantikan oleh jaringan fibrosis.

"Jaringan ini nggak memberikan suatu kontribusi yang positif, malah akan berkontribusi secara negatif, karena ada ruang rugi di paru-paru kita yang tidak berfungsi," kata dia.

Lantas, bagaimana efek Covid-19 bikin lemot atau pelupa?

"Nah, di otak pun juga seperti itu," tambah Wirawan dalam webinar bertajuk Kenali Post-Covid-19 Syndrome oleh RSPI Group, Selasa (29/9/2021)

Jadi, dampak pasca-infeksi Covid-19 bisa terjadi karena mekanisme-mekanisme tersebut, atau juga bisa terjadi akibat dampak secara langsung. Misalnya terjadi pembekuan darah yang menyumbat di otak. Hal ini yang dikhawatirkan akan berdampak pada terganggunya sistem saraf otak penyintas Covid-19.

"Ketika itu terjadi, kita khawatir ada potensi bahwa kerusakan yang terjadi itu akan berdampak secara permanen," ujarnya.

Dalam pemaparannya, ia menganalogikan pasien dengan stroke, yang memiliki kematian dari sel-sel otak yang bisa terjadi dan berlangsung secara permanen.

Baca juga: Bagaimana Covid-19 Menyebabkan Kerusakan Otak Jangka Panjang?

 

Namun, tentu yang menjadi perbedaan adalah bagaimana kita bisa mengidentifikasi dan merehabilitasi sedini mungkin untuk mengurangi dampak jangka panjang infeksi Covid-19 terhadap sistem sarafnya.

"Sehingga, lambat berpikirnya, lemotnya, pelupanya (dampak long Covid) mekanisme ini bisa terjadi. Apakah bisa hilang? Ya tentu tergantung seberapa awal kita bisa mengidentifikasi dan mengobatinya," jelasnya.

Ia menambahkan, jika dampak seperti lambat berpikir atau lemot, dan pelupa pasca infeksi Covid-19 ini tidak terdeteksi lebih dini dan terjadi berlarut-larut, maka hal ini bisa jadi permanen.

Lantas, bagaimana mengatasi risiko dampak keterlambatan berpikiran dan pelupa usai terinfeksi Covid-19?

Wirawan berkata, untuk mengatasi potensi risiko dampak negatif yang satu ini, tentunya bisa dilakukan dengan banyak hal tergantung dengan faktor penyebab atau risikonya. Jika dampak tersebut diakibatkan oleh peradangan yang dialami penyintas Covid-19, maka peradangan tersebut harus segera diatasi.

"Kalau misalnya (lemot dan pelupa) terjadi akiba pembekuan darah, ya tentu pembekuan darahnya kita obati," tuturnya.

"Jadi banyak cara (efek lemot dan pelupa pasca-Covid-19 terjadi), satu gejala beribu mekanisme. Ini yang bahaya pada Covid-19," tambahnya.

Baca juga: Peneliti Ungkap 1 dari 3 Orang yang Sembuh dari Covid-19 Menderita Gangguan Otak

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com