Biofertilizer dapat dibuat dengan memanfaatkan limbah peternakan berupa urin ternak yang ditambahkan dengan mikroba fermentator (starter) sehingga tidak berbau dan memiliki kandungan hara, meliputi hormon dan antiinsektisida.
Starter berisi beberapa macam mikroba, di antaranya Azotobacter sp., Bacillus sp., Streptomyces sp., Aspergillus sp., Saccharomyces sp., dan Trichoderma sp. Mikrobia ditambahkan ke dalam urin kemudian difermentasikan selama 48 jam.
Biofertilizer memanfaatkan mikroorganisme yang terkandung di dalamnya untuk dapat berkolonisasi dengan rhizosfer pada permukaan tanaman atau tanah, dan akan mendorong pertumbuhan tanaman dengan menyediakan nutrien.
Baca juga: Langkah Membuat Pupuk Organik Cair untuk Tanaman Cabai
Pemberian biofertilizer dalam dosis tinggi pada kondisi cekaman salinitas terbukti dapat mengembalikan konsentrasi normal nutrien tanaman dan meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Selain itu, kombinasi beberapa jenis mikroorganisme dalam biofertilizer lebih efektif dibandingkan hanya satu jenis mikroorganisme. Kombinasi jenis mikroorganisme dapat meningkatkan suplai fitohormon yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Penelitian yang dilakukan oleh Siswanti & Rachmawati (2011) menyatakan bahwa dosis optimum biofertilizer yang dibutuhkan tanaman padi adalah 10 liter/ha untuk meningkatkan produktivitasnya.
Analisisnya adalah, bila petani mempunyai sapi satu ekor, maka jumlah urin yang dihasilkan oleh sapi per harinya adalah 10 liter.
Pada kali pertama pembuatan biofertilizer dibutuhkan 1liter biang (starter) untuk 49 liter urin. Satu liter starter seharga Rp 100.000, ini akan menjadi 50 liter biofertilizer yang dapat menjadi starter bagi urin ternak yang terkumpul berikutnya.
Biofertilizer yang dihasilkan dari starter pertama sebanyak 50 liter dapat digunakan untuk memupuk lahan seluas 5 hektar. Dari perhitungan ini saja, petani sudah untung sebab bila pemupukan menggunakan NPK dibutuhkan biaya Rp 3.450.000 untuk 5 hektar.
Biaya lebih dapat ditekan bila biofertilizer pertama (50 liter) digunakan menjadi starter bagi 2.450 liter urin berikutnya. Maka akan dihasilkan 2.500 liter biofertilizer baru.
Kelompok tani dapat menggunakan sistem patungan (membeli secara gotong royong) starter pertama. Selanjutnya menjadikan biofertilizer dari produk awal sebagai starter untuk biofertilizer selanjutnya. Cara ini akan menekan biaya produksi terkait kebutuhan pupuk.
Contoh analisis potensi produksi di Kalurahan Gerbosari, Samigaluh Kulon Progo, Yogyakarta. Kalurahan Gerbosari merupakan salah satu sentra peternakan kambing di Kulon Progo.
Menurut data BPS (2017), jumlah kambing di Kapanewon Samigaluh sebanyak 15.368 ekor, Kalurahan Gerbosari diperkirakan memiliki setengah dari jumlah itu.
Bila tiap kambing rata-rata mengeluarkan 2,5 liter urin per hari, maka potensi biofertilizer yang dapat diproduksi urin sebanyak 7.684 ekor dikalikan 2,5 liter maka didapatkan 19.210 liter urin per hari.
Artinya, akan didapatkan produksi biofertilizer sebanyak 19.210 liter per hari pula. Contoh analisis lain di Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, DIY yang mempunyai 422 ekor sapi perah dan 784 ekor sapi potong (RPJM Desa Wukirsari, 2015).