Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Syarat Berat Badan dalam Seleksi Calon Jaksa, Diskriminasi yang Harus Diakhiri

Kompas.com - 16/09/2021, 19:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

UNTUK menjadi jaksa, di mana pun wilayahnya, seseorang membutuhkan pengetahuan hukum yang cukup, termasuk prosedur pengadilan dan aturan di negara tempat tinggalnya. Mereka juga membutuhkan kemampuan analisis yang tajam dan komunikasi verbal yang baik untuk mempersiapkan kasus-kasus hukum.

Namun, untuk menjadi seorang jaksa di Indonesia, kemampuan tersebut tidak cukup. Mereka juga harus memiliki tinggi (minimal 160cm untuk laki-laki dan 155cm untuk perempuan) dan nilai berat badan (Indeks Massa Tubuh, BMI) yang sehat antara 18-25.

Kejaksaan Republik Indonesia menerbitkan peraturan ini pada Juni 2021 saat membuka rekrutmen calon jaksa.

Situs rekrutmen menyediakan formulir pernyataan tinggi, berat badan, serta kalkulasi BMI yang harus ditandangani minimal dua saksi seperti orang tua dan ketua rukun tetangga. Persyaratan ini melengkapi persyaratan umum seperti pelamar punya ijazah S-1 Ilmu Hukum dengan indeks prestasi kumulatif minimal 2,75 dan kemampuan Bahasa Inggris menengah.

Baca juga: Awas, Makin Banyak Orang Berisiko Diabetes Tipe 2 akibat Kenaikan Berat Badan Selama Pandemi

Lebih dari sepertiga penduduk dewasa Indonesia masuk kategori kegemukan. Berbagai riset menyatakan bahwa diskriminasi berat badan di tempat kerja berbahaya karena menimbulkan stigma terhadap orang dengan obesitas. Stigma menyebabkan dampak buruk, tidak hanya untuk kesehatan fisik dan mental, tapi juga pada status ekonomi.

UU inklusif, tapi praktiknya diskriminatif

Persyaratan BMI ideal dalam rekrutmen ASN sebelumnya diangkat oleh Amnesty International sebagai bentuk diskriminasi. Situs Amnesty melaporkan bahwa pada 2017, juru bicara Kejaksaan Agung pada saat itu menyatakan bahwa mereka menginginkan pelamar kerja yang “normal, wajar, dan tidak aneh-aneh”. Tapi tidak ada penjelasan apa maksud “tidak aneh-aneh” tersebut.

Persyaratan BMI untuk melamar kerja sebagai calon aparatur sipil negara juga telah diliput oleh berbagai media massa, walau mereka fokus pada cara mengkalkulasikan nilai BMI. Selain Kejaksaan, Kementerian Perhubungan juga memasukkan pengukuran BMI dalam proses seleksi pegawainya.

Persyaratan tinggi badan juga diterapkan dalam rekrutmen tentara, polisi, pegawai bank, pramugari di pesawat dan kereta.

Di Indonesia, aparatur sipil negara (ASN) diatur melalui UU No. 5 Tahun 2014. Pasal 51 jo Pasal 1(22) menyatakan manajemen ASN menggunakan sistem merit tanpa adanya diskriminasi.

Di luar UU ASN, Indonesia telah meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 111 mengenai diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan melalui UU No. 21 Tahun 1999. Walau kedua UU tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan berat dan tinggi badan sebagai bentuk diskriminasi, ILO telah mengeluarkan laporan Equality at Work sebagai bentuk lanjutan dari ILO Fundamental Principles at Rights at Work.

Baca juga: Nafsiah Mboi: Stigma dan Diskriminasi ODHA Itu Pelanggaran HAM

Di dalamnya, ILO menyebutkan bahwa mendiskriminasikan pekerja yang memenuhi kualifikasi dan dapat melakukan pekerjaan tersebut, berdasarkan berat dan tinggi badan merupakan sebuah bentuk diskriminasi.

Obesitas di Indonesia kian meningkat

Indonesia, sama seperti kebanyakan negara di dunia, memiliki kenaikan tingkat kegemukan dan obesitas yang cepat. Kurang lebih 35,4 persen orang dewasa mengalami kegemukan pada 2018, termasuk di dalamnya 21,8 persen orang dengan obesitas. Ini merupakan kenaikan berlipat dibandingkan dengan 19% kegemukan dan 10% persen obesitas pada 2007.

Obesitas di Indonesia dikalkulasikan dengan nilai BMI yang spesifik terhadap etnis di atas 27.

Masyarakat modern sering kali memiliki miskonsepsi negatif bahwa mereka yang mengalami obesitas memiliki kekurangan dalam disiplin diri dan tekad, meski faktor lingkungan dan sosioekonomi berperan sangat penting dalam meningkatnya tingkat obesitas.

Peningkatan cepat obesitas juga khususnya terjadi pada kaum marjinal dan mereka yang berpendapatan menengah ke bawah. Ini terjadi karena mereka kerap kali menjadi sasaran dari industri komoditas (makanan dan minuman) tidak sehat dan tidak memiliki akses kesehatan secara mudah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com