KOMPAS.com - Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASSEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan anak.
Diketahui, sekitar 22 dari 34 provinsi di tanah air memiliki angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Hal ini dianggap mengkhawatirkan. Pasalnya, pemerintah telah mengatur dengan jelas batas minimal perkawinan menjadi 19 tahun, dan memperketat aturan dispensasi perkawinan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Baca juga: Perkawinan Usia Anak Memperbesar Risiko Kematian Ibu Muda
Namun praktik perkawinan anak masih kerap terjadi. Bahkan, perkawinan anak menjadi salah satu permasalahan sosial yang pelik di Indonesia, kompleks serta multi dimensi.
Hal ini menunjukkan, bahwa kebijakan saja belum cukup untuk menekan laju perkawinan anak.
Situasi perkawinan anak di Indonesia
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (2019) dalam studinya Girls Not Brides menemukan data, bahwa 1 dari 8 remaja putri Indonesia sudah melakukan perkawinan sebelum usia 18 tahun.
Temuan ini diperkuat dengan data dari Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) BPS tahun 2017 yang menunjukkan presentase perempuan berusia 20-24 tahun yang sudah pernah kawin di bawah usia 18 tahun sebanyak 25,71 persen.
Dilihat dari aspek geografis, tren angka perkawinan anak dua kali lipat lebih banyak terjadi pada anak perempuan dari pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan.
Berdasarkan data Bappenas (2021), perkawinan anak dapat membawa dampak ekonomi yang menyebabkan kerugian ekonomi negara sekitar 1,7 persen dari Pendapatan Kotor Negara (PDB).
Selain dampak ekonomi, para pengamat menyatakan bahwa perkawinan anak ini sebenarnya akan berdampak multi-dimensional, karena dapat membawa implikasi besar terhadap pembangunan, khususnya terkait kualitas dan daya saing sumber daya manusia kaum muda di masa mendatang.
Walaupun tren angka perkawinan anak mengalami penurunan secara nasional dari 11,21 persen (2018) menjadi 10,82 persen (2019), namun angka perkawinan anak di 18 provinsi di Indonesia justru mengalami peningkatan kasus.
Empat provinsi di antaranya seperti Provinsi Kalimantan Selatan meningkat menjadi 21,2 persen, Provinsi Kalimantan Tengah sekitar 20,2 persen, Provinsi Sulawesi Tengah dengan 16,3 persen dan Provinsi Nusa Tenggara Barat sebanyak 16,1 persen.
Baca juga: Jangan Salah, Manusia Prasejarah Sudah Paham Bahaya Perkawinan Sedarah