Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/01/2021, 19:41 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Menteri Kesehatan ( Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, sistem pemeriksaan (testing) Covid-19 di Indonesia salah secara epidemiologi.

Hal itu berpengaruh terhadap jumlah kasus Covid-19 yang terus bertambah, meski jumlah testing disebut sudah melampaui target WHO.

"Testing, tracing, dan treatment ( 3T) serta isolasi bagaikan menambal ban bocor. Tapi kita kan tidak disiplin. Cara testing-nya kita salah," ujar Budi dikutip dari acara "Vaksin dan Kita" yang diselenggarakan Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jawa Barat, yang ditayangkan kanal YouTube PRMN SuCi, Jumat (22/1/2021).

Baca juga: Faktor Berikut Dapat Memengaruhi Hasil Tes Covid-19, Apa Saja?

Benarkah sistem pemeriksaan atau testing Covid-19 di Indonesia selama ini salah?

Menanggapi pernyataan tersebut, Epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, bahwa apa yang disampaikan oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin tersebut tidak salah.

Menurut Dicky, tidak masalah jika dilakukan testing untuk keperluan berpergian, untuk memastikan kondisi tubuh memang tidak terinfeksi dan membawa virus saat berpergian, serta bertemu banyak orang lain di luar sana.

"Itu kalau pergi-pergi ya enggak apa-apa (tes), tapi jangan masuk laporan, jadi performa (angka kasus) gitu. Ini yang salah kaprahnya di situ," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Jumat (21/1/2021).

Menurutnya, kapasitas testing yang seharusnya masuk dalam pelaporan adalah tes pada orang yang memang suspek atau terkait dalam pendeteksian penularan virus secara dini dalam mekanisme skrining.

"Tidak ada salahnya (testing perjalanan), yang dimaksud (salah) ini adalah indikator dari WHO (Badan Kesehatan Dunia)," tegas dia.

"Kita harus akui bahwa cakupan tes Covid-19 di tanah air Indonesia masih sangat minim dan hanya menyasar pada orang bergejala untuk kategori suspek," lanjutnya.

Bahkan, tes yang dilakukan pada orang bergejala pun belum sesuai yang ditetapkan oleh WHO, yaitu 1 test per 1.000 orang per minggu dengan positive rate kurang dari 5 persen.

"Artinya, cakupan testing kita tidak sesuai dengan skala jumlah penduduk, tidak sebanding dengan eskalasi pandemi kita. Ini yang harus dijadikan indikator yang tidak boleh diabaikan," kata dia.

"Masa tes kita sama dengan Singapura yang penduduknya setengah dari penduduk Jakarta?" ujar Dicky mempertanyakan.

Baca juga: Video Viral IGD Penuh, Epidemiolog Sarankan Klinik Demam untuk Skrining Covid-19

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com