Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Greenpeace: 4,4 Juta Hektar Lahan Terbakar dalam Karhutla 2015-2019

Kompas.com - 26/10/2020, 07:03 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

Greenpeace menilai UU Cipta Kerja yang baru-baru disahkan oleh DPR RI berpotensi tidak dapat menghentikan kebakaran hutan dan lahan di tahun-tahun mendatang.

Omnibus Law -yang disebut Greenpeace sebagai hadiah impunitas bagi pembakar di sektor perkebunan besar- itu telah melemahkan aturan-aturan sebelumnya.

Sebagai contoh, perubahan Pasal 88 Undang-Undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan perubahan pada pasal 49 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Potensi konflik kepentingan dalam undang-undang itu juga berpeluang terjadi karena ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menjadi anggota Satgas Omnibus Law.

“Kita tahu tiga ketua dari GAPKI, APHI dan APKI itu merupakan anggota dari Satgas Omnibus Law. Nah, apa kaitannya dengan isu kebakaran hutan dan lahan, kita lihat empat perusahaan yang paling luas terbakar tadi itu adalah anggota dari GAPKI. Kemudian delapan dari perusahaan yang paling luas terbakar itu adalah anggota APHI," kata Rusmadya.

"Jadi kita indikasikan dengan bergabungnya ketua GAPKI, APHI dan juga APKI dalam tim penyusunan Undang-undang Omnibus Law, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan sehingga kita melihat ada pasal-pasal yang melemahkan penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan," tambahnya.

Rekomendasi

Greenpeace menyampaikan tujuh rekomendasi untuk mencegah berulangnya kasus kebakaran hutan dan lahan.

Rekomendasi itu di antaranya adalah pemerintah harus memperkuat upaya penegakan hukum dengan melakukan koordinasi antar institusi negara yang memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum terhadap perusahaan-perusahaan dan menjatuhkan sanksi seberat-beratnya.

Pemerintah juga harus mencabut pasal-pasal yang diperdebatkan di UU Omnibus yang berpotensi melemahkan penegakan hukum atas kasus kebakaran hutan dan juga memberikan impunitas lebih kepada perusahaan-perusahaan yang tidak patuh.

Greenpeace juga merekomendasikan perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas agar segera menghentikan penggunaan api dalam praktik-praktik pengelolaan lahan.

Petugas pemadam dari Manggala Agni dan TNI-Polri melakukan proses pemadaman kebakaran lahan di Desa Ulak Petangisan Kecamatan Pemulutan Barat Ogan Ilir Sumatera Selatan, Selasa (4/8/2020)AMRIZA NURSATRIA HUTAGALUNG Petugas pemadam dari Manggala Agni dan TNI-Polri melakukan proses pemadaman kebakaran lahan di Desa Ulak Petangisan Kecamatan Pemulutan Barat Ogan Ilir Sumatera Selatan, Selasa (4/8/2020)

Greenpeace dalam laporan yang dirilis 22 Oktober 2020 berjudul "Karhutla Dalam Lima Tahun Terakhir: Omnibus Law Hadiah Impunitas Bagi Pembakar di Sektor Perkebunan Besar", menyimpulkan kegagalan pemerintah dalam memaksa perusahaan-perusahaan untuk bertanggung jawab atas kebakaran di konsesi mereka dan mengumpulkan denda dari mereka, bertolak belakang dengan narasi yang sedang didorong Indonesia ke tengah masyarakat global.

Narasi tersebut adalah bagaimana Indonesia telah berhasil menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan oleh karena itu berhak menerima pembayaran dari negara maju di dalam sebuah skema bernama REDD+.

Di dalam REDD+, negara-negara dengan luas hutan lebat, seperti Brazil dan Indonesia, dapat meminta pembayaran dari negera lain atau organisasi-organisasi seperti Green Climate Fund (GCF) apabila mereka dapat membuktikan telah berhasil mengurangi emisi dengan melindungi hutan dari deforestasi dan degradasi.

Proposal Indonesia pada tahun ini telah disetujui oleh GCF dan Norwegia. GCF setuju untuk membayar $ 103,8 juta (Rp 1,52 triliun), sedangkan Norwegia akan membayar $ 56 juta. Uang ini akan digunakan untuk upaya konservasi hutan dan program pemberdayaan masyarakat.

Keputusan-keputusan ini telah dikritik secara luas karena meski uang pajak dari negara-negara lain digunakan untuk melindungi hutan Indonesia, pemerintah dianggap gagal dalam memaksa perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan emisi dalam jumlah besar yang dihasilkan dari kebakaran tersebut, untuk membayar kesalahan mereka.

Baca juga: Setelah Demo UU Cipta Kerja, Ini Langkah Cegah Angka Covid-19 Naik

Merujuk beberapa penelitian, Greenpeace mengatakan kualitas udara di Palangka Raya, salah satu kota di Indonesia yang paling terdampak kabut asap 2015, mungkin adalah kualitas udara terburuk yang terjadi berkepanjangan yang pernah tercatat di seluruh dunia. Namun, di saat kebakaran terus meluluhlantakkan hutan dan lahan Indonesia, pemerintah telah meremehkan dampak kebakaran tersebut terhadap kesehatan manusia.

Walaupun menurut data resmi pemerintah, jumlah korban jiwa dari kebakaran hutan dan lahan di 2015 adalah 24 orang. Namun, para pakar epidemiologi memperkirakan puluhan ribu orang meninggal secara prematur sebagai dampak kesehatan dari kebakaran tersebut. Tak hanya itu, puluhan juta orang juga terpapar asap beracun dari kebakaran.

Selama perusahaan-perusahaan dengan kebakaran di konsensi mereka dibiarkan untuk terus beroperasi seperti biasa -dengan sedikit atau tanpa akibat hukum-, maka isu kebakaran hutan tidak akan hilang di masa yang akan datang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com