Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Apa yang Membuat Seseorang Menjadi Preman?

Kompas.com - 03/08/2020, 19:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Individu-individu tersebut dianggap mampu untuk membantu industri perbankan atau perusahaan kredit dalam menagih para debitur yang telat atau tidak membayar tagihan utang.

Meskipun aktivitas penagihan utang itu legal, beberapa laporan menyebutkan adanya penyimpangan karena mereka kerap menggunakan cara-cara intimidatif.

Aktivitas penagihan utang dengan cara-cara preman bukan hanya fenomena di Jakarta.

Praktik kekerasan dalam penagihan utang, misalnya terjadi di Surabaya, Jawa Timur, bulan lalu dengan korban pengemudi ojek online.

Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Palembang, Sumatra Selatan, ketika penagih utang menodongkan pistol kepada seorang warga yang menunggak pembayaran angsuran kredit sepeda motor selama dua bulan.

Bisnis-bisnis para preman memiliki konsumen sendiri meskipun sebagian risikonya adalah hilangnya rasa aman publik.

Karir kriminal

Motivasi seseorang untuk bergabung dalam kelompok preman umumnya didasari dengan pertimbangan rasional.

Tujuan utamanya adalah pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Keterlibatan seseorang dalam bisnis kriminal adalah pemenuhan materi dan tidak pernah benar-benar dilatari oleh faktor ideologi atau keyakinan tertentu.

Sama halnya dengan proses meningkatkan karir di dunia legal, para preman perlu melakukan sejumlah pencapaian tertentu untuk meraih posisi puncak dalam karir kriminalnya.

Mereka menganut dua prinsip kunci: menyelesaikan tugas dan menunjukan loyalitas.

Penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh anggota kelompok kriminal merupakan salah satu cara “naik pangkat”.

Aktor-aktor dalam bisnis kriminal menjadikan momen-momen bentrok kekerasan sebagai ujian kenaikan kelas.

Di mata negara, apabila seorang preman terlibat dalam tindak kekerasan, maka ia akan didakwa melanggar hukum dan diberikan sanksi.

Namun bagi atasan dan kelompoknya, melakukan kekerasan adalah simbol keberanian dan loyalitas.

Dalam bisnis kriminal, seorang justru akan lebih dihormati ketika ia pernah menjalani hukuman atas cara-cara kekerasan yang pernah ia lakukan.

Atribut kultural

Latar belakang etnis dan budaya juga memiliki peran tersendiri dalam premanisme.

Atribut kultural seperti etnis, bahasa, dan kebiasaan seringkali menjadi prasyarat keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok kriminal, sekaligus mempengaruhi keberhasilan karirnya dalam dunia kejahatan.

Secara teknis, kesamaan atribut-atribut kultur akan memudahkan dan mempercepat proses sosialisasi nilai-nilai di dalam kelompok kriminal.

Sebab itulah, klaster kelompok kriminal di kota-kota besar Indonesia secara alamiah terbentuk berdasarkan etnis.

Dimensi kultural ini juga lekat dalam konteks bisnis kriminal di Amerika Serikat (AS).

Cosa Nostra misalnya, salah satu kelompok kriminal terbesar di AS, mensyaratkan keanggotaan intinya harus seorang yang berasal dari keturunan Sicilia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com