Lebih lanjut, kebakaran ini telah melepaskan 802 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO?e) ke atmosfer. Ini menjadi salah satu keluaran emisi yang tertinggi di Indonesia.
Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan terparah di tahun 1997, juga dipengaruhi oleh El Nino. Saat itu, estimasi 45.600 kilometer persegi atau 4,5 juta hektare lahan terbakar di Kalimantan dan Sumatra, dan melepaskan sekitar 0,81 Gt dan 2,57 Gt karbon atau 2.970-9.423 juta ton CO?e.
Sementara, rata-rata emisi tahunan dari tahun 2000 hingga 2016 terhitung sebesar 248 juta ton CO?e.
Pengeringan lahan gambut membuat lapisan atas tanah terpapar pada oksigen yang berujung kepada dekomposisi dan menjadi mudah terbakar. Akhirnya, ia akan melepaskan karbon dioksida ke atmosfer.
Mendekati puncak di bulan Agustus, lahan gambut menjadi rentan terhadap kebakaran.
Apabila tidak ada upaya untuk restorasi lahan gambut, misalnya dengan kegiatan pembasahan kembali, ini akan kembali menjadi sumber emisi yang besar bagi Indonesia.
Sejak bulan Mei, pemerintah Indonesia telah menurunkan hujan buatan di Sumatra dan Kalimantan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Indonesia memang masih terus berupaya bisa mengendalikan kebakaran yang berulang hampir setiap tahun ini.
Penyemaian awan untuk menciptakan hujan buatan dan upaya yang lainnya untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan yang sedang berlangsung merupakan waktu yang tepat untuk mengadopsi pembangunan berkelanjutan.
Jalan ini bukan hal yang baru bagi Indonesia.
Sudah ada beberapa kebijakan yang bertujuan mencapai pembangunan hijau, misalnya REDD+ atau (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dan mempromosikan energi terbarukan.
Meski demikian, skema REDD+ ini belum memasukkan kebakaran gambut karena tingginya tingkat ketidakpastian dari estimasi areal yang terbakar.
Melalui skema REDD+, Indonesia berhasil mencegah emisi karbon sebesar 11,23 juta ton CO?e terlepas ke atmosfer di tahun 2017.
Atas upaya ini, Indonesia akan menerima dana sebesar 56 juta dolar atau sekitar Rp793 miliar dari Norwegia.
Skema ini membuka kesempatan bagi negara-negara pemilik hutan untuk menerima dana atas upaya mereka untuk menjaga area hutan, misalnya menanam pohon-pohon endemik, menerapkan aturan pelarangan penebangan pohon spesies tertentu, dan menekan keluaran emisi karbon dioksida ke atmosfer sembari melakukan revitalisasi ekonomi lokal dari komunitas yang tinggal di daerah hutan.