Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Health Belief Model Jelaskan Akar Masalah Pencegahan Corona di Indonesia

Kompas.com - 20/03/2020, 13:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Sandi Kartasasmita, M.Psi

HINGGA artikel ini ditulis, berdasarkan data dari Worldometer per Kamis (19/3/2020) pukul 17.00, jumlah orang yang terjangkit virus corona berjumlah 220.879 orang, jumlah meninggal 8.988 orang, dan sehat kembali 82.866 orang.

Sementara itu, untuk Indonesia sendiri jumlah pasien terus bertambah menjadi 309 orang dengan jumlah yang meninggal sebanyak 25 orang.

Tentunya ini bukan penyakit yang diinginkan dan mau dialami oleh semua orang. Penyakit ini berawal dari ditemukannya kasus pneumonia atau lebih dikenal dengan radang paru paru pada Desember 2019. Kemudian, dengan cepat penyakit ini menyebar ke berbagai negara di dunia.

Walaupun penyebaran virus ini berlangsung dengan sangat cepat, sebagian besar masyarakat masih menganggap ini adalah hal biasa dan bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Pemikiran bahwa ini adalah virus yang mirip dengan influenza ada di benak sebagian besar orang dan pemikiran tersebut menjadi keyakinan awal dan menganggap remeh.

Penyebaran penyakit ini telah memakan korban jiwa yang banyak. Hal ini dapat terjadi karena pola berpikir yang kurang tepat. Pola pikir untuk menjaga kesehatan dan berobat yang minim menjadi salah satu penyebabnya.

Sebagian besar masyarakat masih menganggap penyakit ini masih jauh, tidak perlu ditakutkan, ini semua akan berlalu (memang, pasti akan berlalu, tapi kapan, belum dapat dipastikan), memiliki Tuhan yang pasti senantiasa akan melindungi sehingga tidak akan terkena penyakit tersebut. Kalaupun akhirnya kena, karena itu sudah kehendak Tuhan.

Health Belief Model

Dalam pendekatan Psikologi Kesehatan, dikenal istilah Health Belief Model (HBM). HBM merupakan satu pendekatan yang dapat memberikan gambaran mengapa seseorang mau atau enggan pergi menemui tenaga kesehatan. Kondisi yang dapat membuat mau mencari atau tidak mencari adalah "Persepsi".

Dalam kondisi penyebaran COVID19 ini, pada awalnya masyarakat masih banyak yang merasa bahwa penyakit ini masih jauh dan tidak dekat dengan tempat tinggalnya. Penyakit ini adalah penyakit kutukan pada bangsa tertentu karena perilaku mereka, sehingga tidak akan terkena penyakit tersebut. Jadi kemungkinan akan kena, masih jauh atau bahkan tidak sama sekali.

Hal tersebut diperkuat oleh meme yang isinya mengatakan bahwa manusia Indonesia memiliki penyakit yang lebih berbahaya daripada corona sehingga penyakit ini akan takut masuk ke Indonesia.

Ini yang disebut dengan perceive susceptibility (kerentanan apa yang dirasakan atau diketahui).

Kemudian, pada perceive severity (Bahaya atau keparahan penyakit yang dialami), masyarakat juga memiliki pemikiran bahwa ini adalah penyakit seperti influenza.

Kalau hanya sakit pilek (Influenza), maka penyakit itu tidak akan membuat manusia Indonesia akan meninggal. Sudah kebal, baal dan terbiasa terpapar penyakit itu sepanjang tahun. Ini pemikiran yang ada dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia.

Selain itu, kondisi ini akan diperparah dengan pemikiran bahwa apabila pergi ke dokter, maka akan mengeluarkan uang yang banyak karena berobat itu mahal. Lebih baik uang yang ada dipakai untuk keperluan lain daripada berobat.

Hal ini disebut sebagai perceive benefit of action (apa manfaat yang akan didapatkan dari tindakan yang dilakukan).

Apa keuntungan yang akan didapatkan dengan pergi ke dokter, selain mengeluarkan uang? Kesehatan? Kenyataannya saat ini tidak sakit. Lalu, saat pemerintah mengumumkan 14 hari bekerja di rumah, maka yang dipikirkan adalah, kalau tidak keluar rumah, tidak bekerja, maka bagaimana dapat uang? Apabila tidak ada uang, bagaimana dapat makan? Kalau tidak makan, maka akan kelaparan.

Jadi, himbauan untuk 14 hari berdiam di rumah, apabila tidak ditunjang kebijakan lain yang menyertai, akan sulit untuk diikuti oleh masyarakat karena keuntungan yang akan diperoleh tidak terlihat.

Lalu, ada pula yang disebut dengan perceive barrier to action (hambatan dari tindakan yang akan dilakukan).

Hambatan – hambatan yang dapat muncul didasari beberapa faktor, seperti usia, jenis kelamin, tempat tinggal, penilaian mengenai diri sendiri, apakah sanggup atau tidak sanggup mengatasi penyakit tersebut ataupun keyakinan bahwa tidak akan terkena penyakit tersebut karena berbagai faktor penguat keyakinan tersebut.

Terakhir adalah cues to action (Isyarat untuk melakukan tindakan).

Pada akhirnya tindakan apa yang akan diambil dan dilakukan terhadap penyakit corona? Apakah akan memeriksakan diri saat gejala muncul? Adanya instruksi pemerintah, dengan cara melakukan social disctancing bila harus keluar rumah, apakah berdiam di rumah selama 14 hari, semua adalah pilihan perilaku yang akan diambil.

Saat keyakinan tidak akan terkena penyakit dan berpikir tidak mungkin terkena, tanpa disadari kita sudah masuk ke dalam kondisi optimistic bias. Kondisi ini adalah kondisi yang meyakini bahwa diri sendiri tidak akan terkena hal – hal yang negatif atau buruk.

Solusi lewat informasi keuntungan

Oleh karena itu, apabila meninjau kondisi saat ini, maka ada baiknya bila diberikan informasi mengenai keuntungan–keuntungan apa yang akan didapatkan bila melakukan tindakan–tindakan yang disampaikan dan kerugian apa yang akan diderita apabila tetap menjalankan diluar anjuran pemerintah.

Terdapat beberapa keuntungan dengan berdiam diri selama 14 hari di rumah.

Pertama, menjadi salah satu orang yang berjasa untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit ini.

Sandi Kartasasmita, M.PsiUNIVERSITAS TARUMANAGARA Sandi Kartasasmita, M.Psi
Kedua, waktu kerja yang flesibel. Saat bekerja di rumah, tentunya dapat menentukan kapan memulai dan akan menyelesaikan suatu pekerjaan.

Ketiga, lebih irit uang transpor dan makan siang karena semua dikerjakan di rumah.

Keempat dan yang merupakan keuntungan terpenting, yaitu lebih dekat dengan keluarga. Saat bekerja di rumah, tentunya berbagai hal dapat dikerjakan di dekat orang–orang yang disayang. Tidak perlu pergi berlibur untuk dapat bersama keluarga, namun, saat–saat seperti sekarang waktunya bersama keluarga.

Akhir kata, semoga kita semua sehat dan kondisi ini dapat terselesaikan dengan baik dan cepat.

Sandi Kartasasmita, M.Psi

Psikoterapis, psikolog, dosen tetap Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com