Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Studi Uji Kemampuan Beton Menangkap Karbon, Ini Hasilnya

KOMPAS.com - Beton merupakan salah satu bahan konstruksi yang paling banyak digunakan di dunia, namun produksinya memiliki dampak besar terhadap emisi gas rumah kaca.

Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti telah mencari cara untuk mengurangi jejak karbon beton dengan menangkap dan menyimpan karbon dioksida (CO2) selama produksinya.

Sebuah metode baru telah dikembangkan yang memungkinkan verifikasi penangkapan karbon dalam beton, sehingga memberikan penilaian yang lebih akurat mengenai dampak lingkungan.

Memastikan dari mana asal karbon dalam beton

Para peneliti dari Universitas Tokyo dan Universitas Nagoya di Jepang telah mengembangkan metode untuk memastikan dari mana asal karbon dalam beton, dikutip dari Tech Explorist, Rabu (29/11/2023).

Studi ini dipublikasikan dalam Journal of Advanced Concrete Technology.

Sebuah terobosan dalam penangkapan karbon telah tercapai melalui penelitian tim yang membandingkan rasio isotop karbon pada beton yang terpapar udara dengan beton yang tidak.

Metode ini menggunakan teknologi 'direct air capture' (DAC) di mana karbon dioksida diekstraksi dari udara melalui metode fisik atau kimia.

Strategi ini dapat menjadi kunci bagi industri dan negara-negara yang berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon.

International Energy Agency’s (IEA) mencatat bahwa teknologi DAC termasuk dalam skenario emisi nol bersih untuk mencapai tujuan global pengurangan emisi CO2 pada tahun 2050.

Industri konstruksi yang saat ini menyumbang 25 persen emisi CO2 dari sistem energi global menjadi fokus utama.

Beton sebagai produk industri kedua paling banyak digunakan memiliki dampak besar terhadap lingkungan.

Tiap 1 ton semen menghasilkan 800 kilogram karbon

Sebanyak 800 kilogram CO2 dikeluarkan per ton semen selama produksinya mendorong kebutuhan akan solusi inovatif.

Profesor Ippei Maruyama dari Universitas Tokyo menjelaskan bahwa beton sebelumnya bereaksi dengan CO2 di udara membentuk kalsium karbonat yang menyebabkan korosi pada struktur beton.

“Beton telah lama diketahui bereaksi dengan CO2 di udara untuk membentuk kalsium karbonat, sebuah fenomena yang tidak diinginkan karena menyebabkan korosi pada batang baja di dalam struktur beton,” kata Maruyama. 

Namun, kini industri beton mencari cara untuk memanfaatkan reaksi ini secara efektif.

Penelitian ini mengembangkan metode verifikasi untuk membedakan apakah CO2 dalam beton diambil dari udara atau berasal dari bahan baku seperti batu kapur.

Para peneliti menggunakan metode yang dikenal sebagai spektrometri massa akselerator untuk menganalisis rasio beberapa isotop karbon yaitu karbon-12, karbon-13, dan karbon-14, setelah 7 hari dan 28 hari.

Mereka melakukan ini dengan melarutkan bubuk dalam asam untuk mengumpulkan gas.

Maruyama menegaskan bahwa penangkapan karbon dalam beton tidak hanya memiliki nilai ekologis tetapi juga ekonomis terutama dalam perdagangan emisi.

Mengapa penangkapan karbon penting?

Dengan layunya tanaman padi yang meluas di Jepang dan pelelehan jalan di Amerika Serikat, tahun 2023 diperkirakan akan menjadi tahun paling panas yang pernah tercatat.

Meskipun telah ada panggilan internasional untuk bertindak emisi gas rumah kaca dari bahan bakar fosil terus meningkat.

Untuk mencegah mencapai batas kritis kenaikan suhu sebesar 2 derajat Celcius pada tahun 2100 masih banyak usaha yang harus dilakukan, dikutip dari Innovation News Network, Rabu (29/11/2023).

Menurut United Nation’s Intergovernmental Panel on Climate Change, tidak hanya mengurangi emisi yang penting tetapi juga perlu menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer untuk mencapai target dalam melawan perubahan iklim.

https://www.kompas.com/sains/read/2023/12/08/063400823/studi-uji-kemampuan-beton-menangkap-karbon-ini-hasilnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke