Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Satwa Liar Menjaga Keberlangsungan Hidup Manusia

Oleh: Suhendra Pakpahan

PERTAMBAHAN populasi manusia serta ekspansi perkembangan industri dan teknologi saat ini memiliki kebutuhan terkait lahan dan dalam banyak kasus merupakan ancaman bagi satwa liar.

Habitat alami seperti hutan menjadi sangat terbatas sehingga akan berpengaruh terhadap ketersediaan pakan, ruang gerak, dan perilaku satwa liar.

Pemerintah telah berusaha membuat undang-undang untuk melindungi satwa liar akan tetapi belum dapat mencegah penebangan liar, perusakan hutan, dan perburuan liar serta perdangan satwa.

Dalam mengajukan kasus konservasi satwa liar, pertama-tama harus dapat memperdebatkan secara logis kegunaannya yang bermanfaat bagi manusia, baik di masa sekarang maupun di masa depan; dan kedua untuk menilai nilai konservasi suatu kawasan.

Hal ini dapat dilakukan dengan mengukur secara subyektif atau obyektif komponen-komponen tertentu dari satwa liar, baik secara tunggal atau kombinasi yang menunjukkan potensi satwa liar untuk digunakan oleh manusia.

Peranan satwa liar pada mulanya untuk konservasi, survei dan penelitian biologi, eksperimen, pendidikan, dan amenitas.

Fungsi satwa liar menurut lembaga konservasi dunia antara lain:

Setiap organisme pada dasarnya telah diatur oleh jaringan interaksi yang kompleks dengan organisme lain sampai batas tertentu, yang seringkali berbeda dengan waktu dan tempat.

Oleh karena itu, manusia tidak dapat memprediksi sumber daya yang mungkin berguna dalam pengendalian biologis di masa depan, akan lebih baik untuk mempertahankan spesies yang tinggi dan keragaman habitat yang tinggi.

Semua spesies yang ada di muka bumi dalam situasi alami cenderung berguna untuk pengendalian hayati, karena periode asosiasi yang panjang dan tidak terbatas di habitat yang sama.

Hal ini akan mengembangkan pola perilaku dan integritas genetik yang memungkinkan interaksi yang efektif antar spesies dan karena itu memberi mereka potensi untuk pengendalian biologis.

Pertanian dan peternakan

Semua hewan peliharaan baik ternak atau hewan kesayangan pada awalnya berasal dari satwa liar, kemudian didomestikasi oleh manusia dalam periode yang lama pada masa lalu.

Hewan ternak sekarang ini merupakan hasil domestikasi dan evolusi yang dapat ditelusuri melalui catatan sejarah alam dan analisis DNA. Satwa liar memiliki potensi sebagai sumber protein hewani di masa yang akan datang melalui domestikasi dan pemuliaan.

Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa beberapa satwa liar berpotensi sebagai satwa harapan atau hewan liar yang dapat diternakkan menjadi sebagai sumber protein hewani.

Beberapa jenis hewan liar yang sudah banyak dikonsumsi baik di Indonesia maupun luar negeri seperti ular, rusa, buaya, dan beberapa jenis hewan air.

Ini menjadi suatu topik penelitian yang perlu didalami bagaimana potensinya menjadi sumber pangan, kesehatan, dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Semua satwa liar baik hewan atau tumbuhan menjadi aset yang sangat berharga sebagai bank variabilitas genetik atau stok sumber genetik untuk masa yang akan datang.

Saat ini beberapa spesies telah diujicoba dan dilakukan penelitian untuk menambah kualitas hewan dan tanaman domestikasi, seperti resistensi penyakit, tingkat pertumbuhan yang lebih cepat, dan tahan terhadap perubahan iklim.

Jenis liar akan sangat dibutuhkan dimasa yang akan datang untuk memperbaiki jenis domestik, karena jenis domestik telah mengalami penurunan keragaman genetik akibat seleksi dan pemuliaan yang dilakukan manusia secara terus-menerus.

Gen-gen yang mengendalikan sifat-sifat tertentu, seperti resistensi terhadap penyakit tertentu mungkin sudah hilang, akan tetapi dapat ditemukan pada genom nenek moyang liar yang hidup di habitat aslinya.

Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan pelestarian satwa liar sebagai sumber daya genetik untuk keberlangsungan hidup spesies.

Pengobatan tradisional Tiongkok sudah ada sejak lebih dari 5.000 tahun yang lalu dan banyak produk hewani termasuk dalam pengobatan yang direkomendasikan.

Penggunaan satwa liar dalam obat-obatan ini menguras populasi hewan liar sehingga populasinyanya terus menurun. Secara khusus ada beberapa spesies liar tertentu, seperti harimau, beruang, badak, dan burung walet terancam karena penggunaannya dalam pengobatan tradisional.

Contohnya adalah harimau, bagian yang paling populer adalah tulang harimau, digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit seperti rematik.

Spesies liar yang menyerupai manusia dalam beberapa fungsinya, misalnya monyet rhesus (Macaca mulatta), banyak digunakan untuk eksperimen transplantasi jantung, telah didomestikasi dan dipelajari dalam pengembangan teknik medis.

Pembudidayaan beberapa spesies ini telah dilakukan untuk menyediakan sumber bahan yang tetap untuk penggunaan medis. Meskipun pengganti dan alternatif untuk obat-obatan ini sedang dicari, solusi lain untuk masalah ini harus diupayakan.

Pada tahun 2021, jumlah rumah sakit yang berspesialisasi dalam perawatan dengan pengobatan tradisional Tiongkok (TCM) di Tiongkok melebihi 4.600. Sejak 2015, jumlah rumah sakit pengobatan Tiongkok milik swasta meningkat lebih dari dua kali lipat, yang mencerminkan besarnya pasar TCM yang signifikan.

Trade Records Analysis of Flora and Fauna in Commerce (TRAFFIC) internasional memperkirakan bahwa perdagangan ilegal tahunan satwa liar dapat bernilai US$ 5-10 miliar per tahun.

Bahkan saat ini di sebagian besar negara Asia, hewan dianggap sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi dengan nilai berdasarkan kegunaannya.

Banyak negara sudah memiliki undang-undang perlindungan satwa liar, akan tetapi penegakan hukum belum menjadi prioritas. Secara internasional, perjanjian seperti CITES dapat membantu mengendalikan perdagangan lintas batas spesies yang terancam punah.

Sayangnya, banyak negara yang terlibat dalam perdagangan bukan anggota CITES atau memiliki keterbatasan, baik finansial maupun logistik, dalam mengimplementasikan perjanjian tersebut.

Lingkungan dan bioindikator

Organisme, populasi, dan akhirnya seluruh ekosistem secara alami dipengaruhi oleh berbagai faktor stres biotik dan abiotik seperti fluktuasi iklim, variasi radiasi dan pasokan makanan, hubungan predator-mangsa, parasit, penyakit, dan persaingan di dalam dan di antara spesies.

Akibatnya, kemampuan untuk bereaksi terhadap stresor merupakan karakteristik penting dari semua sistem kehidupan.

Tetapi dalam zaman evolutif kisaran variasi stresor umumnya cukup konstan dan memungkinkan spesies menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi lingkungan.

Banyak spesies dan ekosistem liar dalam keadaan seimbang dan setiap ada perubahan dalam lingkungan cenderung akan mempengaruhi keseimbangan ini.

Bioindikator meliputi proses biologis, spesies, atau komunitas dan digunakan untuk menilai kualitas lingkungan dan bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu.

Perubahan lingkungan sering dikaitkan dengan gangguan antropogenik (misalnya, polusi, perubahan penggunaan lahan) atau stres alami (misalnya, kekeringan, musim semi beku).

Dalam lingkungan sekitar kita ada beberapa contoh fauna yang dapat berfungsi sebagai bioindikator, diantaranya: katak, kunang-kunang, dan capung.

Hewan tersebut memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap kondisi lingkungan, dimana jika kualitas lingkungan baik maka maka hewan tersebut mudah ditemui akan tetapi sebaliknya jika kondisi lingkungan buruk maka hewan tersebut akan sulit ditemui.

Semakin buruknya kualitas lingkungan, maka binatang tersebut akan semakin sulit ditemui.

Suhendra Pakpahan
Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan - BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/06/20/200000423/satwa-liar-menjaga-keberlangsungan-hidup-manusia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke