Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketahui Perbedaan Cacar Monyet dan Cacar Air Menurut Dokter

KOMPAS.com - Cacar monyet (monkeypox) adalah salah satu penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia, dan kerap kali disebut mirip dengan cacar air (chickenpox).

Padahal, keduanya adalah penyakit yang berbeda meski sama-sama cacar.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan status cacar monyet sebagai darurat kesehatan global atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), lantaran kasusnya terus meningkat di berbagai negara.

Lantas, apa perbedaan cacar monyet dan cacar air? Berikut penjelasannya. 

Cacar monyet

Cacar monyet adalah penyakit zoonosis, yang artinya ditularkan dari hewan kepada manusia. Dijelaskan oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Penyakit Infeksi RSCM, dr Robert Sinto, SpPD, K-PTI, penyakit ini memiliki gejala klasik.

Adapun gejala dan tandanya dimulai dengan demam lebih dari 38 derajat Celsius, kemudian muncul ruam setelah 1-3 hari.

Penampakan ruam berupa makula, papula, vesikel, sera pustula. Sementara, jenis ruam sama pada setiap fase di semua area tubuh.

Menurutnya, perkembangan ruam akibat cacar monyet relatif lambat yakni sekitar 3 sampai 4 pekan.

"Kalau cacar monyet kita akan bertemu pada satu stadium yang sama. Jadi kalau kita bertemu cairan lenting, maka lenting semua. Jadi homogen dan transisi dari satu ke yang lain berlangsung lama dalam hitungan minggu," terang Robert dalam webinar bertajuk Indonesia Waspada Wabah Monkeypox yang digelar Continuing Medical Education (CME) FKUI, Selasa (9/8/2022).

Penyakit cacar monyet, kata dia, dapat sembuh sendiri dalam kurun waktu 3 sampai 4 pekan setelah pasien terinfeksi.

"Jadi memang dia (cacar monyet) bisa sembuh sendiri, yang bisa kita kakukan adalah melihat apakah muncul komplikasi atau tidak," imbuhnya.

Sementara itu, distribusi ruam secara klasik dimulai di kepala, lebih padat di wajah dan anggota badan, muncul di telapak tangan hingga telapak kaki.

Penampakan khas dari cacar monyet adalah munculnya limfadenopati, atau pembengkakan kelenjar getah bening. Berdasarkan catata WHO, morbiditas atau angka kematian cacar monyet sebesar 3-6 persen.

Dia menambahkan, beberapa tanda tersebut merupakan gejala klasik dari cacar monyet.

Sebab, ada banyak kasus baru dari laporan yang dipublikasikan di jurnal NEJM pada Juni 2022, di mana pasien tidak nyeri, mengalami demam, lokasi lesinya hanya di sekitar kemaluan, disertai pembesaran kelenjar getah bening.


Cacar air

Sedangkan, gejala dan tanda cacar air ialah demam hingga 39 derajat Celsius dan muncul ruam setelah 0-2 hari.

Penampakan ruam berupa makula, papula, vesikel, dan ada di berbagai fase. Perkembangan ruam cepat, tampak crops selama beberapa hari, yang mana istribusi ruam mulai di kepala.

Lalu lebih padat di tubuh, tidak ada di telapak tangan ataupun telapak kaki. Penampakan limfadenopati tidak khas, dan kematian jarang terjadi.

"Kalau kita ingat sebelum Covid pernah ada geger cacar monyet juga, karena ada seseorang yang perjalanan dari Afrika sampai ke Singapura, kita juga diminta waspada. Ini teori klasik yang selalu disampaikan, cara kita secara klinis membedakan atau mencurigai di antara dua ini," ujar Robert.

Gejala cacar monyet dari lesi yang muncul

Dr Robert menyebut, berdasarkan laporan tampaknya ada perbedaan gejala cacar monyet, khususnya yang terlihat pada lesi.

Jika pada awal kasus lesi cacar monyet bisa tersebar di seluruh tubuh, kebanyakan pasien saat ini mengalami gejala yang berbeda. Hal itu berdasarkan data milik 500 pasien cacar monyet di 16 negara selama April-Juni 2022.

"Kalau membandingkan, istilahnya ada 2022 lession. Jadi lesi yang dilaporkan di 2022 ini localized, terbatas di organ-organ tubuh saja misalnya di genital yang berbeda tampilannya dengan lesi klasik yang ada di Afrika," ucapnya.

Data tersebut memuat sejumlah gejala utama cacar monyet, di antaranya:

  • Lesi pada kulit (95 persen)
  • Demam (62 persen)
  • Limfadenopati (56 persen)
  • Faringitis (21 persen)
  • Sakit kepala (27 persen)
  • Kelelahan (41 persen)
  • Myalgia (31 persen)
  • Proktitis atau peradangan di lapisan rektum (14 persen)

Menurutnya, penyakit cacar monyet mengalami perubahan pada tampilan klinisnya. Sehingga, apabila hanya mendiagnosis pasien berdasarkan kemiripan dengan cacar air, kemungkinan besar akan melewatkan tampilan lesi tersebut.

"Kalau kita sebagai dokter berhubungan dengan pasien mendapat lesi yang gambarannya seperti ini, maka mulailah mencurigai untuk cacar monyet, bukan hanya lesi klasik yang kita curigai sebagai cacar monyet," tutur Robert.

Pada banyak kasus bisa jadi gejala ini tidak mirip dengan cacar air, tetapi justru dengan gambaran penyakit infeksi menular seksual lain.

Sebanyak 60 persen kasus juga dilaporkan memiliki jumlah lesi kurang dari 10, di mana bisa mengenai area mukosa, dubur hingga kemaluan.

"Lokasi lesinya tidak semata-mata pada genital, di dubur atau kemaluan. Telapak tangan yang dulu dibedakan dengan cacar air, ternyata hanya 10 persen saja (dari jumlah pasien yang mengalaminya)," pungkasnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2022/08/11/120500523/ketahui-perbedaan-cacar-monyet-dan-cacar-air-menurut-dokter

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke