Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lebih Baik Mana, Bangun Jalan Tol atau Benahi Transportasi Publik?

Kompas.com - 12/01/2023, 20:00 WIB
Aisyah Sekar Ayu Maharani,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kebutuhan akan penyediaan transportasi publik yang memadai kian penting dan terus disuarakan oleh masyarakat.

Hal ini salah satunya tercermin lewat keluhan banyak pengguna media sosial Twitter soal kemacetan yang semakin menjadi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung akibat membeludaknya jumlah kendaraan pribadi.

"Warga Semarang (& Jateng) masi bolehlah berbangga punya transportasi (massal) publik yg lebi baik dari Bandung (& Jabar). Padahal dulu kayaknya Semarang minder liat ide2 transportasi Bandung. Apalg APBD Semarang juga lebi kecil," ungkap pengguna Twitter @gumpxxxxx.

Sementara transportasi publik terkesan hanya sebagai anak tiri, apalagi ketika jalur khusus untuk bus umum, sebut saja Transjakarta, yang tetap harus berbagi dengan kendaraan pribadi pada jam-jam sibuk.

Atau kasus lain seperti padatnya penumpang Commuterline yang tak jarang mereka menyebut dirinya sendiri seperti "ikan pepes" ketika menggunakan transportasi publik ini pada jam sibuk.

Terlebih, Commuterline kerap berhenti menunggu pergantian kereta masuk stasiun.

"yg bilang "emg aja lo pada males" lo rasain naik Tj an**. sblm covid emg udah ngerasain macet, tp skrng gw ngerasa yg beralih ke tj makin banyak bikin desek2an ga** ot** mana makin macet jg. kek mo mam**s capenya," tulis pengguna Twitter @agapxxxxx dalam utas tentang ribuan orang menandatangani petisi untuk kembali work form home (WFH).

Baca juga: Mengintegrasikan Jakarta dalam Sebuah Peta

Belum lagi, Pemerintah yang terkesan lebih fokus untuk mendorong pemakaian kendaraan pribadi dengan percepatan pembangunan infrastruktur jalan tol hingga anggaran untuk kendaraan listrik yang lebih besar.

Sedangkan jaringan transportasi publik yang direpresentasikan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) misalnya, harus berjibaku untuk mendapatkan anggaran.

Mereka baru saja menandatangani kontrak Public Service Obligation (PSO) 2023 untuk Kereta Api (KA) Ekonomi Rp 2,5 triliun dan KA Perintis Rp 124 miliar.

Pada tahun 2022, KAI juga menandatangani PSO untuk KA Ekonomi Rp 3 triliun dan KA Perintis Rp 186,7 miliar.

Sedangkan untuk kendaraan listrik, Pemerintah malah menggelar karpet merah dengan menyiapkan dana lebih jumbo yakni Rp 5 triliun melalui skema insnetif, mengutip Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

"Nantinya insentif ini akan kita berikan dalam rupiah tertentu ini sedang kita bicarakan dengan bu Menteri Keuangan. Nilainya Rp 5 triliun," kata Airlangga saat konferensi pers virtual di Istana Merdeka melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jakarta, Rabu (21/12/2022).

Selain itu, Pemerintah juga menggenjot pembangunan jalan tol yang pada umumnya dilaksanakan dengan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), disesuaikan dengan kelayakan dan risiko proyek.

Sebagi contoh proyek yang sedang berjalan, Jalan Tol IKN Segmen KKT Kariangau-Simpang Tempadung dengan nilai APBN Rp 1,9 triliun dan Jalan Tol IKN Segmen Simpang Tempadung-Jembatan Pulau Balang sebesar Rp 2,1 triliun.

Baca juga: Penumpang MRT Jakarta 19,7 Juta Orang Sepanjang Tahun 2022

Dan yang terbaru adalah Tol JORR Elevated yang dikerjakan oleh Jakarta Metro Expressway yang merupakan konsorsium bentukan PT Nusantara Infrastructure Tbk bersama PT Triputra Utama Selaras (TUS), PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) dan PT Acset Indonusa Tbk (ACST).

Tak tanggung-tanggung, nilai investasinya diperkirakan mencapai Rp 21,5 triliun untuk jalan bebas hambatan berbayar sepanjang 22 kilometer ini. Itu artinya, setiap kilometer bakal menelan dana sekitar Rp 1 triliun.

Di sisi lain, tak sedikit para pekerja yang terpaksa tetap menggunakan transportasi umum karena jarak rumah dengan tempat kerja yang jauh dan tidak mungkin ditempuh dengan kendaraan pribadi hingga alasan biaya perjalanan yang lebih murah.

"Saya di sini perantau, enggak berani kalau bawa motor ke Jakarta, jadi naik KRL biasanya. Selain itu juga KRL jauh lebih murah," ungkap salah satu pengguna KRL yang enggan disebutkan namanya saat ditemui Kompas.com di Stasiun Citayam pada Rabu (11/1/2023).

Dirinya mengaku, KRL memudahkan mobilitas masyarakat di Jabodetabek, tidak seperti di daerah asalnya di pinggiran Jawa Timur yang hanya mengandalkan kendaraan pribadi.

Hanya, menurutnya, banyak kejadian di KRL yang sangat butuh perhatian para pihak berwenang.

"Saya pernah dari Stasiun Jatinegara mau ke arah Manggarai, kereta berhenti di Matraman cukup lama. Kondisinya kereta sangat sesak karena jam kerja pagi. Lalu ada satu orang yang akhirnya keluar dari kereta sambil terlihat sesak nafas dan duduk di Stasiun Matraman," jelasnya.

Menurut narasumber tersebut, penambahan armada kereta mungkin harus segera dipertimbangkan oleh KAI mengingat jumlah penumpang yang kian bertambah semenjak pandemi mereda.

Berbeda halnya dengan Amalia yang lebih sering menggunakan MRT dan Transjakarta. Dari kasusnya, halte Transjakarta sudah cukup menjangkau wilayah Jakarta secara lebih luas.

Namun demikian, masih perlu penambahan halte agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat.

"Transjakarta bagus karena ada tempat khusus perempuan ya. Cuma kurangnya kadang pengguna jalan lain nyerobot jalur busway ini, jadi nambah macet. Selain itu mungkin perlu perluasan halte dan penambahan armada karena penggunanya juga cukup banyak," tutur perempuan berusia 24 tahun itu.

Baca juga: Soal Transportasi Publik, Bandung Masih Tertinggal Jauh

Di antara MRT dan Transjakarta, menurut Amalia, MRT lebih ramah pengguna karena memang rutenya yang pendek dan infrastrukturnya yang baru.

"Mungkin kalau MRT yang bikin antrean itu kalau mau tap out mesinnya sering error, apalagi saat rush hour," imbuh Amalia.

Jalan tol bukan solusi kemacetan

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio berpendapat bahwa pemerintah harus memprioritaskan angkutan umum dibandingkan dengan jalan tol.

Menurutnya, jalan tol bukan solusi kemacetan seperti yang selama ini dipromosikan, tetapi malah menambah kemacetan.

"Ini yang baru dibuka, Antasari, membuat area di sekitar koridor TB Simatupang-Antasari-Fatmawati dan selatan macet total sudah tiga hari ini. Bukti bahwa jalan tol bukan merupakan jalan keluar untuk mengatasi kemacetan," kata Agus saat diwawancari Kompas.com.

Ditambah lagi dengan tata ruang yang sudah sulit untuk diperbaiki dan akan menyebabkan banyak masalah pertanahan baru jika diubah.

Sehingga menurutnya, Pemerintah harus memperbaiki dan mengoneksikan angkutan umum dengan lebih baik.

"Koneksikan angkutan umum satu dengan lainnya. Koneksi yang bagus itu dari titik awal ke tujuan maksimum berganti tiga kali angkutan umum dan jalan kaki tidak lebih dari 500 meter. Daripada bangun jalan tol lagi, itu enggak bisa," Agus menambahkan.

Hal ini juga harus diiringi dengan kebijakan tarif parkir yang mahal, sehingga masyarakat enggan membawa kendaraan pribadi.

Baca juga: Mengapa Kondisi Jalan di Indonesia Tak Semulus UEA, Malaysia dan Singapura?

Sementara Perencana Transportasi yang juga menjabat sebagai Ketua MTI Jakarta Yusa Cahya Permana mengatakan, masalah kenapa investasi jalan tol itu lebih menarik dibandingkan investasi transportasi publik harus dijawab oleh Pemerintah.

Menurut Yusa, kecenderungan pengusaha untuk berinvestasi di jalan tol bisa jadi karena adanya kemudahan proses, dukungan teknis, non-teknis dan politis. Sedangkan untuk berinvestasi di angkutan umum pengusaha baik baru maupun lama terlihat sangat berhati hati.

"Ini adalah PR bagi Pemerintah untuk melihat dan menyelesaikan permasalahan dari akarnya. Apakah karena ketiadaan dukungan yang memadai? Apakah permasalahan biaya? Atau masalah lain yang membuat pengusaha berpikir ulang untuk mengembangkan transportasi publik?," papar Yusa.

Selain itu, pengusaha Indonesia juga terlihat masih belum terbiasa untuk berinvestasi di angkutan umum karena budaya mobilisasi di negara ini masih mengandalkan kendaraan pribadi.

Oleh karena itu, Yusa menyarankan, Pemerintah harus lebih dulu mengetahui tujuan pembangunan, pasar sasaran, dan bagaimana strateginya untuk mencapai tujuan tersebut.

Jika memang ingin membangun transportasi publik, Pemerintah harus mendahulukan perumusan strategi pembangunan.

Nah, jalan tol dalam skema ini harus dalam posisi mendukung pembangunan angkutan umum berbasis jalan untuk perjalanan jarak menengah, jauh atau yang memerlukan waktu tempuh pendek.

Sebaliknya, hal ini akan menjadi kontra produktif jika pembangunan tol menjadi pesaing program pembangunan angkutan umum.

Baca juga: Ini Penyebab Kondisi Jalan di Indonesia Tak Semulus Singapura

"Selain itu jalan tol seharusnya diutamakan untuk perjalanan jarak menengah antar-kota, bukan jarak pendek dalam kota serta menjadi bagian integral sistem logistik," Yusa kembali menambahkan.

Di sisi lain, Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna berpendapat, baik pembangunan jalan tol maupun pengembangan transportasi publik harus sama-sama diprioritaskan.

Pasalnya, jalan tol memiliki peranan penting untuk mempermudah logistik, juga sangat dibutuhkan untuk memudahkan fungsi produksi dan distribusi barang dan bahkan menjadi tulang punggung ekonomi suatu wilayah.

Kendati demikian, menurut Yayat yang paling penting adalah pembenahan angkutan umum agar jumlah penumpang tidak terus mengalami penurunan.

Transportasi publik juga menjadi kunci untuk mengubah pola perjalanan atau mobilitas masyarakat. Namun, pembangunan sektor ini masih terkendala integrasi yang belum terlaksana secara keseluruhan.

"Belum terintegrasi secara keseluruhan, baik tarif, jadwal dan standar pelayanan atau moda. Ini menjadi tantangan dan PR besar bagi setiap Pemerintah Daerah (Pemda), terlebih jika subsidi dari pusat masih terbatas," ucap Yayat.

Untuk sementara, saat ini Pemerintah membantu 10 kota besar di Indonesia dan Kota Bogor di Jabodetabek dengan program Buy The Service (BTS).

Sehingga diharapkan adanya bantuan subsidi bisa memperbaiki citra anggkutan umum di daerah dan menimbulkan semangat bagi setiap Pemda untuk membuat anggaran transportasi publik.

"Minimal bisa membantu dana dari pusat untuk mengnyinergikan program antara Pemerintah Pusat dan Daerah," tutup Yayat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com