Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Edy Ginting, "Pelukis Sampah" yang Karyanya Diminati Orang Asing, di Indonesia Malah Tak Laku

Kompas.com - 04/01/2022, 06:00 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Edy Suranta Ginting berada di Kelapa Gading, Jakarta Utara, saat Kompas.com menghubunginya.

Dia sedang menyelesaikan lukisan pesanan sebuah perusahaan dan lukisan idealis untuk galeri di Yogyakarta yang mengontraknya selama dua tahun.

Pria ramah ini menjelaskan, produksi lukisannya hanya ada dua yaitu pesanan dan idealis.

Lukisan idealisnya bukan untuk orang Indonesia. Menurutnya, orang Indonesia kurang mengerti dan menghargai seni.

Ratusan buah tangannya justru dinikmati dan minati orang asing, terutama Jerman karena sponsor utamanya dari Berlin.

Harganya mulai dari Rp 200 juta sampai Rp 350 juta. Lukisan idealis tidak ada yang dipublikasikan, sesuai kesepakatan kontrak.

Apa yang dilihat di media-media adalah lukisan pesanan dan semuanya gambar wajah.

"Di Indonesia, lukisan idealis saya sama sekali belum pernah laku sampai sekarang. Orang Indonesia tidak pernah memesan lukisan yang benar-benar dari saya...," kata pelukis beraliran surealisme ini, akhir Desember 2021 lalu.

Kalau orang luar, setelah menanyakan apa alirannya, langsung meminta dibuatkan lukisan tanpa banyak "cing-cong".

Edy diberi kebebasan mengekspresikan apa yang ada di kepalanya. Berbanding terbalik dengan orang Indonesia, dia selalu merasa pusing, sampai pernah menutup order.

Menurutnya, terlalu banyak permintaan yang aneh seperti hidung dimancungkan dan wajah ditiruskan. Begitu lukisan selesai dan tidak mirip, si pemesan tak sungkan murka.

"Itulah susahnya... Kalau diberi kebebasan, pasti 400 kali lebih bagus daripada didiktekan," cetus Edy.

Laki-laki Suku Karo asal Ajijahe, salah satu desa di Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, ini menyebut uang dari lukisan idealis dipakai untuk kebutuhan perjalanan seperti membeli tiket dan dana hidup di kampung orang.

Sejak tahun 2000, Edy memilih meninggalkan kampung halaman, lalu hidup nomaden. Tiga tahun belakang, ia berkegiatan di Desa Taat, Kecamatan Gadung, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Setelah itu ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sampai saat ini di Jakarta.

"Kalau tidak berpindah-pindah, kita tidak menyebarkan apa yang bisa kita buat. Jika di suatu daerah ada masyarakat sekitar yang sudah mampu melanjutkan kegiatan, berarti saya harus pindah, mencari tempat lain lagi," ucapnya.

Uang hasil lukisan pesanan dihabiskan untuk membeli buku, sepatu, tas dan lainnya. Tujuannya membantu dan mengedukasi anak-anak pedalaman, termasuk di Tanah Karo Simalem.

Untuk Karo, dibagikan kepada korban erupsi Gunung Sinabung. Di daerah Singalor Lau, masyarakat membuka jungle class sehingga perlu didukung buku bacaan, buku tulis, buku gambar, apa saja yang penting terkait edukasi.

Edy ikhlas menyumbang karena beranggapan apa yang didapatnya adalah milik mereka yang membutuhkan.

"Kalau dibilang ingin gak punya mobil mewah? Ingin... Sebenarnya pengen simpan itu semua uang, tapi kenyataannya, ketika pergi ke suatu daerah, ada orang yang beli pensil saja tidak bisa," imbuh Edy.

Kira-kira ke mana semua yang tajir-tarir, yang punya tupoksi mengurusi pendidikan di Indonesia, ke mana semua? Edy mempertanyakan.

"Sebagai manusia, ya otomatis kita miris. Saya dulu sekolah di pedalaman, harus jalan kaki. Aku ngerasain benar-benar, bertahun-tahun jalan kali, pulang-pergi setiap hari 20 kilo untuk bisa sekolah," cerocosnya.

Edy mengaku tidak suka sekolah, maksudnya sistem pendidikan dengan kurikulum. Murid-murid dipaksa menelan semua pelajaran pada waktu yang bersamaan.

Menurutnya, inilah yang membuat di Indonesia sulit mendapat seorang ahli karena tidak pernah diberi kebebasan untuk fokus di bidangnya. Kebebasan inilah yang membuat ia harus berpindah-pindah sekolah.

"Aku tetap berdiri di bidangku walaupun guru mau pecat, terserah... Pada akhirnya, aku merasa sudah tidak lagi menjadi manusia di Medan, apapun yang aku tahu tidak ada gunanya. Tahun 2000, aku ke Bali," kata dia.

Di Pulau Dewata, Edy bertemu orang-orang yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan seperti Navicula dan Jerinx SID.

Mereka berkolaborasi melakukan gerakan bersama, para artis dengan lagu-lagu yang mereka ciptakan, Edy lewat lukisan yang merupakan basisnya.

Sebelum melukis, ia lebih dulu membuat rumah dari segala jenis sampah seperti pembalut wanita dan popok bayi.

Rumah-rumah buatannya berada di Sulawesi tengah, Sulawesi Selatan, Wamena dan Halmahera Utara, digunakan sebagai tempat belajar dan berkreasi. Sayang, tidak terpublikasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com