BARU-baru ini kita mendengar kembali isu ancaman tenggelamnya Jakarta. Isu ini, sejatinya, telah lama terdeteksi oleh sejumlah lembaga dalam negeri, yang merekam data historis tinggi muka tanah.
Potensi risiko turunnya muka tanah atau land subsidence di Jakarta diperparah dengan potensi banjir atau genangan, baik banjir karena curah hujan maupun banjir gelombang air pasang (rob) di pantai utara Jakarta.
Turunnya muka tanah merupakan gejala geologis yang umumnya terjadi di wilayah pesisir. Hal ini dipicu oleh kondisi geologi tanah endapan, tingginya ekstraksi air tanah yang umumnya menjadi penciri wilayah dengan penggunaan tanah yang intensif, dan beban bangunan.
Kumulasi dampak dari faktor-faktor tersebut, menstimulasi penurunan muka tanah.
Pada kondisi tertentu, penurunan muka tanah dapat menyebabkan amblesnya bangunan di atasnya, ataupun genangan yang lebih dalam saat musim penghujan atau ketika gelombang pasang.
Sebagai kota pantai, Jakarta merupakan dataran rendah dengan geologi berupa kipas aluvial.
Dalam bukunya, tentang Geologi Indonesia, Van Bemmelen menyebutkan, pesisir Utara Jawa, dari Barat sampai Cirebon merupakan endapan sungai dan membentuk alluvial fan dari erupsi Gunung Gede dan Pangrango.
Sementara, sumber akademik lain menyebutkan bahwa proses kompaksi masih berlanjut hingga saat ini di beberapa bagian.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh portal data yang dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Dinas Perindustrian dan Energi terkait peta sebaran penurunan muka tanah 2014-2017 mengungkapkan, penurunan muka tanah tertinggi terjadi di beberapa titik sebesar 0,24 meter pertahun.
Secara area, wilayah dengan risiko penurunan muka tanah yang tinggi di antaranya adalah Penjaringan, Pademangan, dan Cempaka Putih.
Di sisi lain, pada cakupan wilayah tersebut, telah dimanfaatkan melalui pengembangan permukiman, komersial, dan campuran.
Cerminan pemanfaatan tanah ini mengindikasikan ekstraksi air tanah yang cukup intensif. Penyebab land subsidence non-alami ini yang perlu diperhatikan dan dikontrol bersama.
Berdasarkan platform digital property mapping atau Inframap dari Knight Frank Indonesia diketahui bahwa, di wilayah dengan penurunan muka tanah tertinggi terdapat 31 proyek properti, dari berbagai sektor, baik residensial, perkantoran, ritel dan hotel.
Jumlah proyek tersebut belum termasuk proposed project yang akan dibangun di sekitar area tersebut.
Dan, tentu saja jumlah proyek lebih banyak lagi pada wilayah dengan potensi risiko sedang sampai rendah.