Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemacetan di Lima Kota Sebabkan Kerugian Rp 12 Triliun Setahun

Kompas.com - 27/06/2021, 14:30 WIB
Ardiansyah Fadli,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kemacetan lalu lintas berdampak pada kerugian ekonomi. Jika di Jakarta kerugiannya bisa mencapai Rp 65 triliun, lain halnya di lima kota Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Menurut Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno kerugian akibat kemacetan lalu lintas di lima kota tersebut mencapai Rp 12 triliun setahun.

Keterbatasan angkutan massal perkotaan itulah yang menjadi penyebab kerugian ekonomi hingga triliunan rupiah tersebut.

"Keterbatasan sistem angkutan umum massal menyebabkan kemacetan yang akhirnya berdampak pada kerugian ekonomi bahkan hingga triliunan rupiah," kata Djoko dalam keterangan tertulis yang dikutip Kompas.com, Minggu (27/06/2021).

Baca juga: Ini Alasan Angkutan Umum Perkotaan di Luar Jakarta Tidak Berkembang

Mengutip laporan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Bank Dunia pada tahun 2019, Djoko mengungkapkan, Kota Jakarta, Surabaya, dan Bandung masuk dalam kota termacet di Asia.

"Kota Jakarta menduduki peringkat 10 dengan 53 persen tingkat kemacetan dibandingkan kondisi normal atau tidak macet di kota tersebut," ujarnya.

Akibat kemacetan, peningkatan satu persen urbanisasi di Indonesia hanya berdampak pada peningkatan 1,4 persen PDB per kapita.

Kontribusi metropolitan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional itu relatif lebih rendah dibandingkan negara lain.

"Hal ini terutama dipengaruhi kemacetan akibat kurangnya pelayanan angkutan umum massa," imbuh Djoko.

Kendati demikian, dia mengakui bahwa biaya awal pembangunan angkutan umum massal perkotaan ini sangat besar.

Selain itu, angkutan massal biasanya juga tidak menghasilkan pendapatan yang cukup untuk biaya operasi dan perawatan.

Karena itu, pemerintah pusat harus turut andil, salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (perpres) terkait pembangunan sistem angkutan umum massal perkotaan.

Pengembangan angkutan massal perkotaan ini tidak hanya dibebankan kepada pemerintah daerah (pemda) yang notabene memiliki keterbatasan fiskal terutama di daerah-daerah selain DKI Jakarta.

"Karena selain DKI Jakarta, tidak ada kota yang mampu membangun MRT dan LRT jika hanya mengandalkan APBD saja," ujarnya.

Hingga saat ini belum ada aturan yang memungkinkan Pemerintah Pusat memberikan dukungan fiskal kepada Pemda untuk angkutan massal.

Kontribusi pemerintah pusat dalam angkutan umum massal di berbagai daerah ini masih bersifat parsial, kecuali Kerjasama Pemerinth dan Badan Usaha (KPBU).

"Dukungan 49 persen belanja modal (dalam aturan KPBU) tidak mencukupi untuk angkutan massal, sehingga sampai saat ini belum ada proyek KPBU angkutan massal," ungkap Djoko.

Rancangan Perpres harus mencakup pengaturan kebijakan mobilitas perkotaan dan pengembangan kelembagaan dan dukungan fiskal.

Termasuk kriteria untuk dapat memperoleh dukungan, syarat kelembagaan otoritas transportasi kawasan metropolitan dan ruang lingkup, skema, serta bentuk dukungan pendanaan pemerintah pusat dan tanggung jawab pemerintah daerah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com