Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Josua Sitompul
Pegawai Negeri Sipil

Koordinator Hukum dan Kerja Sama Ditjen Aptika. Legal Drafter. Alumnus Faculty of Law Maastricht University. Pengajar pada Fakultas hukum Universitas Indonesia. Kepala Divisi Hukum Indonesia Cyber Law Community.

Mempersiapkan Masa Depan Notaris Siber Indonesia

Kompas.com - 26/05/2023, 10:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NOTARIS siber atau notaris elektronik merupakan istilah yang mencerminkan progresivitas, efektivitas, dan efisiensi.

Pada intinya istilah tersebut menggambarkan penerapan teknologi untuk melaksanakan tugas dan fungsi notaris dalam memberikan layanan kenotariatan kepada masyarakat.

Perkembangan notaris siber didukung hadirnya teknologi internet, enkripsi, tanda tangan elektronik, dan komunikasi serta teknologi terkait lainnya.

Konsep notaris siber juga diterima di berbagai negara lain, termasuk di Indonesia. Dalam regulasi Indonesia, kewenangan utama notaris ialah membuat akta autentik mengenai semua perbuatan hukum termasuk perjanjian, baik yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik.

Dengan diundangkannya UU 2/2014 tentang Perubahan atas UU 30/2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris diberikan kewenangan untuk terlibat dalam perdagangan elektronik, secara spesifik mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary).

Kewenangan ini yang diharapkan menjadi katalisator perkembangan notaris siber di Indonesia.

Sayangnya, setelah hampir satu dekade, perkembangan tersebut tidak seperti yang diharapkan banyak pihak. Berbagai publikasi mengangkat satu hambatan besar dalam pengembangan notaris siber di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU ITE.

Ketentuan tersebut mengatur bahwa bentuk elektronik dari surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan bentuk elektronik dari surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.

Pertanyaan apakah ketentuan dalam UU ITE tersebut menghambat berkembangnya notaris siber di Indonesia adalah pertanyaan penting yang perlu dijawab.

Akan tetapi, pertanyaan yang lebih besar dan lebih penting dari pertanyaan itu ialah bagaimana mempersiapkan masa depan notaris siber di Indonesia?

Pengakuan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti

Pasal 5 UU ITE telah mengatur beberapa ketentuan mendasar mengenai pengakuan informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah.

Ketentuan-ketentuan tersebut dibangun berdasarkan sejarah panjang penerimaan sistem hukum di Indonesia terhadap data elektronik sebagai alat bukti.

Aturan dasar yang pertama ialah dokumen elektronik beserta hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum sah.

Dengan perkataan lain, validitas dari satu dokumen atau surat sebagai alat bukti tidak dapat disangkal hanya didasarkan pada bentuknya yang elektronik.

Pengaturan ini sejalan dengan berbagai instrumen internasional dan perjanjian-perjanjian antarnegara di bidang perdagangan digital.

Aturan dasar yang kedua ialah informasi atau dokumen elektronik beserta hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Maknanya ialah bahwa alat bukti elektronik dapat digunakan dalam pembuktian berbagai perkara, seperti perkara pidana, perdata, tata usaha negara, militer, dan arbitrase.

Diterimanya informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah tentu dapat memberikan fleksibilitas dalam pembuktian.

Selain itu, penerimaan tersebut memudahkan para pihak yang berperkara untuk memperkuat argumennya dan melemahkan argumen pihak lawan.

Aturan dasar yang ketiga ialah pengecualian terhadap aturan dasar yang pertama. Bentuk elektronik dari surat atau dokumen yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, atau harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.

Relevansi Tradisi dalam Era Digital

Kenotariatan di Indonesia berakar dari tradisi civil law. UUJN mencerminkan prinsip-prinsip kenotariatan dari tradisi yang dimaksud. Beberapa karakteristik notaris civil law adalah sebagai berikut.

Pertama, notaris merupakan pejabat umum. Seseorang dapat menjadi notaris berdasarkan latar pendidikan khusus dan diangkat oleh negara setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan.

Kedua, akta notaris merupakan akta yang memiliki kekuatan pembuktian otentik. Artinya, semua informasi yang tertulisnya dianggap benar, sampai dibuktikan sebaliknya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com