Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akhmad Zaenuddin, S.H, M.H
Advokat

Managing Partner pada Akhmad Zaenuddin & Partners (AZLAW). Sarjana Hukum dari Universitas Bung Karno dan Magister Hukum dari Universitas Gadjah Mada.

Pernah bekerja di LBH Jakarta dan ADAMS & Co, Counsellors at Law. Advokat terdaftar di PERADI dan berpraktik sejak 2014, khususnya Litigasi Komersial.

Pernah membela perusahaan-perusahaan besar, baik nasional maupun multinasional di berbagai bidang hukum di antaranya Perdata, Perbankan, Perlindungan Konsumen, Pertambangan, Ketenagakerjaan, Kepailitan, dan PKPU

HP: 0821-2292-0601
Email: ahmadzae18@gmail.com

Utang Pinjol Ilegal, Apakah Harus Dibayar?

Kompas.com - 22/08/2021, 06:00 WIB
Akhmad Zaenuddin, S.H, M.H,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

Konsultasi Hukum

Kupas tuntas dan jelas perkara hukum

Ajukan pertanyaan tanpa ragu di konsultasi hukum Kompas.com

Pada titik ini, maka tidak adanya legalitas penyelenggara pinjol, termasuk pula berdampak pada keabsahan perjanjian yang dibuat oleh pihak penyelenggara pinjol illegal dengan pihak pemberi pinjol.

Tidak adanya legalitas penyelenggara pinjol berarti pula tidak ada kewenangan bertindak dalam kapasitasnya selaku penyelenggara pinjol di Indonesia.

Tidak adanya kewenangan bertindak, maka berdampak pada tidak terpenuhinya syarat sahnya pembuatan perjanjian dalam setiap kegiatan usaha pinjol.

Apabila kegiatan usaha pinjol tetap dilaksanakan, maka dalam bahasa yang sederhana tindakan tersebut dikategorikan sebagai pinjol ilegal.

Keabsahan perjanjian pinjol ilegal

Dalam pembuatan suatu perjanjian, undang-undang telah memberikan persyaratan yang harus dipenuhi agar perjanjian sah dan mengikat secara hukum.

Secara umum, syarat sah perjanjian termuat pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Pertama adalah syarat subjektif, yakni kesepakatan dan kecakapan para pihak.

Kedua adalah syarat objektif, yakni adanya objek yang jelas dan kausa yang halal.

Baca juga: Bunga dan Denda Pinjol yang Tinggi Bisa Dipangkas, Simak Ulasan Hukumnya

Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka konsekuensinya adalah perjanjian dapat dibatalkan.

Sementara apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka akibatnya adalah perjanjian batal demi hukum atau dari semula perjanjian dianggap tak pernah terjadi.

Sehubungan dengan kedudukan hukum dan wewenang seseorang atau entitas hukum untuk membuat suatu perjanjian, maka syarat yang berkaitan erat adalah syarat kecakapan.

Menurut doktrin hukum, indikator menentukan kecakapan para pihak dalam membuat perjanjian dilihat dari dua hal, yakni kemampuan hukum dan kewenangan hukum.

Kecakapan yang dilihat dari indikator kemampuan hukum dalam membuat perjanjian, pada umumnya diatur dari standar usia kedewasaan (meerderjing) dan kebebasan bertindak di depan hukum –ada atau tidaknya pengampuan atas dirinya-- untuk manusia.

Sementara itu, kecakapan yang dilihat dari kewenangan bertindak di depan hukum (bevoegheid) umumnya diberlakukan untuk badan hukum (recht person).

Menurut Herlien Budiono dalam bukunya Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, dijelaskan bahwa mereka yang tidak berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu.

Ketentuan mengenai ketidakwenangan diadakan untuk melindungi kepentingan pihak lawan atau pihak ketiga atau kepentingan umum sehubungan dengan perjanjian yang dibuat.

Ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan yang bersifat memaksa sehingga tidak dapat disimpangi.

Penjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat pada kebatalan perjanjian.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com