Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

China: Antara Sosialisme, Kapitalisme, dan Realisme Ofensif

Kompas.com - 10/04/2024, 06:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA Senin, 1 April 2024 lalu, Menteri Pertahanan sekaligus Presiden RI terpilih Prabowo Subianto bertolak ke Beijing untuk bertemu Presiden China Xi Jinping.

Pertemuan ini mendapatkan sorotan karena meskipun belum dilantik, Prabowo tetap memenuhi undangan Xi Jinping dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan untuk menemui orang nomor satu di negara tersebut.

Mendapatkan penyambutan layaknya seorang kepala negara, Prabowo dalam kunjungannya kali ini membahas berbagai isu penting dengan Presiden Xi, yang juga menitipkan salam hangat kepada Presiden Joko Widodo di Tanah Air. Dari Beijing, Prabowo berkunjung ke Jepang.

Pasca-Pemilu di Indonesia tahun 2024 selesai dilaksanakan, Xi Jinping “gercep” mengundang Prabowo ke Beijing.

Dengan segera melakukan pendekatan secara personal pascapresiden baru di suatu negara terpilih, China terindikasi memiliki kepentingan ekonomi yang sangat strategis di Indonesia.

Penulis mendapatkan informasi langsung dari Rahmad Widjaja Sakti, salah satu pengurus di Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Komite Indonesia – Tiongkok, bahwa pascakunjungan Prabowo ke China, banyak aktor swasta dari negeri tirai bambu tersebut yang siap berinvestasi di berbagai sektor di Indonesia.

Hal ini sebenarnya terdengar positif, namun perlu kita telaah dari segi perspektif yang berbeda.

Kombinasi Sosialisme dan Kapitalisme

Sebagai negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi luar biasa dalam beberapa dekade terakhir, China memiliki sistem perekonomian dan pemerintahan unik. Keduanya tergolong saling bertolak belakang, tetapi nyatanya dapat dikolaborasikan dengan sangat baik.

China merupakan negara penganut paham sosialisme, namun mendapatkan penyesuaian berdasar kondisi masyarakatnya.

Paham ini kemudian dikenal dengan istilah “socialism with Chinese characteristics”, yang pertama kali muncul ketika Deng Xiaoping berkuasa di China pada 1978.

Ketika itu, Deng Xiaoping seolah mengakhiri perdebatan tentang mana yang lebih baik antara sosialisme atau kapitalisme, dengan menyebut bahwa: “tidak penting seekor kucing berwarna hitam atau putih, selama ia bisa menangkap tikus”.

Ide yang muncul adalah sistem ekonomi pasar yang tidak hanya dapat disesuaikan dengan paham kapitalisme, namun juga dengan sosialisme. Alhasil, munculah sistem pemerintahan sosialis dengan disertai adanya liberalisasi pasar (free market).

Adanya kombinasi antara kedua paham tersebut membuat China tersentralisasi secara politik, namun terdesentralisasi secara ekonomi.

Keyu Jin, seorang profesor dari London School of Economics and Political Science, dalam bukunya berjudul The New China Playbook: Beyond Socialism and Capitalism, menjelaskan secara mendeatil terkait hal ini beserta efek yang ditimbulkan dalam konstelasi politik global.

Dalam sistem ekonomi pasar di negara-negara Barat, konsumen dan pelaku usaha terhubung satu sama lain dengan sistem keuangan, di mana peran negara cenderung minor di dalamnya.

Sedangkan dalam sistem ekonomi pasar China, negara memiliki peranan lebih besar. Ia memiliki kekuatan untuk mengontrol lebih banyak instrumen perekonomian negara dibandingkan dengan negara-negara barat untuk meraih kepentingannya.

Hal ini dapat kita amati dengan banyaknya China melakukan strategi financing terhadap proyek infrastruktur di negara-negara berkembang, pengetatan kebijakan investasi asing, pengendalian arus impor, dan disertai investasi ke luar negeri (capital outflow) dari aktor swastanya dengan cara yang sangat masif.

Fenomena ini seakan membuat pemerintah sosialis China menjadikan para kapitalisnya sebagai tangan kanan demi mengendalikan perekonomiannya, baik dalam lingkup domestik maupun luar negeri.

Sistem seperti ini nyatanya membuat ekonomi China menjadi tumbuh secara pesat dalam beberapa dekade terakhir, hingga memungkinkan perusahaan-perusahaannya melakukan ekspansi ke negara lain.

Instrumen ekonomi secara cerdik nyatanya digunakan oleh Pemerintah China sebagai salah satu senjata efektif dalam mengejar kepentingannya.

Seperti dalam buku Beijing Rules: How China Weaponized Its Economy to Confront the World, karya Bethany Allen-Ebrahimian, Partai Komunis China telah menunjukkan peranan yang menarik dalam pengaruhnya di perekonomian global untuk meyakinkan pemerintah dan aktor-aktor swasta di seluruh dunia demi mendukung kepentingan politiknya secara koersif.

Contohnya, seperti bagaimana ketika perusahaan penyedia jasa online meeting Zoom yang mendapatkan keuntungan masif saat pandemi, terbukti membantu menyediakan informasi kepada pemerintah China untuk mengejar pengkhianat ataupun buronan dari negara tersebut.

Sebagai perusahaan asal Amerika, adanya keterlibatan perusahaan Zoom dengan pemerintah China dalam hal ini termasuk cukup ironis, karena membuat Zoom dapat sekali-kali membocorkan komunikasi yang dilakukan oleh pengguna melalui servernya untuk dilaporkan kepada pemerintah China. Hal ini tentunya dapat mengancam privasi penggunanya secara umum di seluruh dunia.

Reformasi ekonomi yang dilakukan China nyatanya dibaca oleh Amerika Serikat sebagai ancaman nyata.

Banjirnya produk-produk China di luar negeri dengan harga kompetitif dapat mengancam kelangsungan industri di negara lain, tak terkecuali di Negeri Paman Sam.

AS seringkali menganggap China sebagai negara kompetitor dalam perekonomian global, yang puncaknya adalah perang dagang (trade war) antara kedua negara yang diiniasi oleh Trump di masa kepemimpinannya.

Melihat status quo AS yang telah terlalu lama nyaman sebagai satu-satunya negara adidaya pascaruntuhnya Uni Soviet, banyak yang memperkirakan bahwa kebangkitan ekonomi China tidak akan terjadi secara damai ataupun tenang-tenang saja.

Salah satu yang mengemukakan hal ini adalah Prof. John Mearsheimer, yang melalui teori “realisme ofensif”-nya menyampaikan bahwa hegemoni AS kini sedang terusik.

Realisme Ofensif

Dalam bukunya berjudul The Tragedy of Great Power Politics, Prof. John Mearsheimer menjelaskan teori yang disebut dengan realisme ofensif, dimana teori tersebut terbentuk atas dasar lima asumsi.

Pertama, negara adalah aktor kunci dalam politik internasional, dan tidak ada otoritas lain yang berdiri di atasnya.

Kedua, semua negara memiliki kapabilitas militer yang sifatnya ofensif (menyerang). Ketiga, tidak ada satupun negara yang dapat mengetahui niat maupun maksud tujuan negara lain ketika melakukan suatu tindakan, karena hal tersebut murni bersumber dari kepala tiap-tiap pimpinan di negara tersebut.

Keempat, mempertahankan kelangsungan hidupnya adalah prioritas utama dari tiap-tiap negara. Kelima, semakin kuat suatu negara, maka semakin kecil kemungkinan kelangsungan hidup dari negara tersebut terancam karena eksistensi dari negara lain.

Singkatnya, ketika suatu negara menjadi hegemon (dominan) di suatu lingkup regional, maka negara tersebut akan cenderung mencegah negara lain untuk mendominasi pengaruh di wilayah geografis regionalnya.

Jika mengikuti logika ini, maka inilah sebab mengapa AS membangun banyak sekali pangkalan militer di luar lingkup regionalnya, termasuk di wilayah Asia-Pasifik.

Dominasi ekonomi China atas negara-negara lain di berbagai wilayah nampaknya akan dibarengi dengan peningkatan kapabilitas militer, guna meraih tujuan geopolitik yang lebih besar.

AS setidaknya telah membaca itu, walaupun kini justru malah lebih fokus dalam mengurus konflik di wilayah lain seperti Eropa Timur (Rusia-Ukraina) dan Timur Tengah (Israel-Palestina).

Lebih lanjut, jika teori ini benar, maka China akan terus berusaha untuk memaksimalkan jarak gap power dengan negara-negara tetangga dekatnya, seperti India, Jepang, Rusia, dan bahkan Indonesia.

Dalam buku Stealth War karya Robert Spalding, seorang purnawirawan Angkatan Udara AS, ia mengungkapkan bahwa China memperluas pengaruhnya di seluruh dunia setidaknya melalui enam media, yakni ekonomi, militer, diplomasi, teknologi, pendidikan, dan infrastuktur.

Namun sayangnya, ia mengungkapkan bahwa elite-elite AS seperti tidak terlalu memperhatikan China di saat awal-awal kebangkitan ekonominya mulai terasa, serta tidak menganggap hal tersebut sebagai bibit ancaman.

Ciri dari realisme ofensif dari negara hegemon, yang salah satunya adalah meningkatnya kapabilitas militer suatu negara ketika dibarengi dengan peningkatan pertumbuhan ekonominya, menjadi suatu hal yang harus diwaspadai oleh negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia.

Salah satu opsi yang dapat dilakukan adalah dengan strategi balancing. Langkah Menhan Prabowo Subianto setidaknya dapat dibaca sebagai strategi balancing antarpengaruh, di mana selepas kunjungannya ke Beijing, beliau langsung bertolak ke salah satu negara kompetitornya, yakni Jepang.

Dengan adanya potensi kebangkitan China yang diprediksi tidak akan berlangsung secara damai akibat hegemoni negara superpower lain, strategi diplomasi Indonesia untuk lebih sering berinteraksi dan melakukan balancing perlu untuk terus dilakukan kedepan.

Jika China cenderung agresif dalam urusan diplomasinya dengan Indonesia, tentu perlu dilihat sejauh mana tindakan tersebut linier dengan kepentingan Indonesia dalam berbagai aspek.

Mewaspadai konflik antar negara-negara kuat perlu dilakukan agar efeknya tidak terbawa ataupun memengaruhi urusan-urusan domestik di negara kita sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com