Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Makanan Jawa Seperti Soto dan Pecel Populer di Suriname?

Kompas.com - 08/08/2023, 16:30 WIB
BBC News Indonesia,
Tito Hilmawan Reditya

Tim Redaksi

Rata-rata mereka paham dengan ujaran bahasa Jawa tetapi kesulitan saat berbicara menggunakan bahasa ini.

Memang, makanan dan bahasa Jawa bernasib berbeda di Suriname. Yang satu sangat populer, sedangkan yang lainnya makin sedikit dipakai oleh anak-anak muda.

"Satu-satunya ekspresi atau tradisi budaya yang terus berkembang dan memberi pengaruh adalah kuliner," kata Rosemarijn Hoefte, peneliti di Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), di Leiden, Belanda, dalam perbincangan dengan Mohamad Susilo.

"Banyak restoran dan warung (di Suriname). Setiap pesta, apakah oleh orang Jawa maupun non-Jawa, menyediakan makanan Jawa. Kuliner Jawa hidup dan terus berkembang," kata Hoefte yang juga adalah guru besar sejarah Suriname di Universitas Amsterdam.

Makanan adalah satu-satunya elemen warisan budaya Jawa yang masih terjaga hingga sekarang di Suriname, kata Hoefte.

Ia menjelaskan secara umum, makanan-makanan Jawa tidak berubah, meski ada penyesuaian-penyesuaian kecil, ditandai dengan penggunaan bumbu dan bahan-bahan lokal. Misalnya soto, yang di Suriname dikenal dengan saoto. Kuahnya lebih bening.

Kemudian sambal. Sambal Jawa ala Suriname menggunakan cabai yang dikenal dengan Madame Jeanette dan Adjuma, yang rasanya jauh lebih pedas, dari sambal di Jawa, yang biasanya menggunakan cabai merah, cabai hijau, atau cabai rawit.

Makanan Jawa sangat populer dan sudah diadopsi oleh komunitas-komunitas non-Jawa di Suriname, seperti Afro-Suriname dan Indo-Suriname. Ketika mereka menyelenggarakan acara, menu seperti nasi dan mi goreng sering kali disajikan.

Baca juga: Kenapa Banyak Orang Jawa di Suriname? Ini Sejarah dan Perbedaan Bahasanya

Lestarinya makanan Jawa antara lain didorong oleh kondisi saat orang-orang Jawa datang ke Suriname mulai 1890. Hoefte menuturkan orang-orang Jawa secara geografis terisolasi dari etnik-etnik lain yang telah dulu tiba.

Mereka hidup di perkebunan dan meski ada pekerja dari etnik lain, misalnya orang-orang dari India atau Afrika, ada pemisahan berdasarkan etnisitas di perkebunan-perkebunan besar.

"Ini membuat orang-orang Jawa bisa mempertahankan tradisi (karena tidak terpengaruh oleh tradisi dari etnik-etnik lain)," jelas Hoefte.

Kehidupan yang terisolasi dan juga rasa ingin mulih Njowo (kembali ke Jawa) membuat ekspresi budaya, antara lain kuliner, menjadi pelarian.

Dan hingga generasi-generasi berikutnya, makanan Jawa terwariskan hingga sekarang.

Keberadaannya lestari dan sudah diterima oleh kelompok-kelompok etnik lain di Suriname, seperti yang juga terlihat di Pasar Saoenah.

Selain Pasar Saoenah, masih ada satu tempat di Paramaribo yang juga dikenal sebagai pusat makanan Jawa. Letaknya di Blauwgrond, sekitar setengah jam dengan mobil dari pusat kota.

Baca juga: Putri Jawa Suriname 2022 Dimulai, Inilah Para Peserta dan Hadiahnya

Di tempat ini, di kanan kiri jalan terdapat banyak restoran yang menyediakan makanan Jawa. Seperti di Pasar Saoenah, pengunjungnya beragam, tak hanya orang Jawa.

Blauwgrond, Pasar Saoenah, dan warung-warung yang mudah ditemukan di Paramaribo, baik yang permanen maupun yang dijajakan dengan kendaraan di pinggir jalan, menjadi saksi jayanya makanan Jawa di Suriname.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com