Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Proposal Perdamaian Prabowo dan Dilema Negara "Buffer State"

Kompas.com - 19/06/2023, 13:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jervis mengungkapkan bahwa ketika suatu negara berusaha untuk meningkatkan kapabilitas keamanannya (kekuatan militer), maka secara otomatis akan meningkatkan rasa takut dan kewaspadaan bagi negara lain.

Hal ini terjadi akibat faktor ketidaktahuan apakah peningkatan kapabilitas tersebut dilakukan untuk tujuan yang bersifat ofensif ataukah defensif.

Dalam kasus ini, NATO yang dimotori utamanya oleh Amerika Serikat telah berkali-kali melakukan upaya perluasan pengaruh secara masif, yang akhirnya menimbulkan konsekuensi logis bagi Rusia untuk turut meningkatkan kewaspadaannya.

Salah satunya adalah dengan tetap mempertahankan pengaruh negara yang berbatasan langsung secara geografis Rusia, seperti Ukraina.

Sejak awal sejarah konflik antara Rusia dan Ukraina terjadi, konflik kedua negara ini bersifat asimetris, di mana salah satunya melibatkan “great power”.

Konflik asimetris yang melibatkan langsung kekuatan hegemon di wilayah tertentu tentunya tidak sama dengan konflik simetris di wilayah lain yang kekuatan militernya relatif serupa.

Paradigma geopolitik Rusia yang tidak cawe-cawe terhadap perluasan pengaruh NATO akan membuatnya melakukan apa saja agar Ukraina tunduk pada pengaruh Moskow.

Bahkan jika diperlukan, Rusia akan mengeluarkan kekuatan penuh untuk mempertahankan pengaruhnya di wilayah periferi teritorialnya tersebut.

Meskipun memiliki kemungkinan yang sangat kecil, bukan tidak mungkin Rusia dapat mengeluarkan senjata pemusnah masal (nuklir) jika suatu saat terpojok akibat serangan yang dilakukan Ukraina dengan bantuan senjata-senjata Barat.

Kondisi kekuatan militer yang asimetris inilah yang membuat hasil akhir apapun dari konflik antara kedua negara tersebut akan membuat Ukraina berada dalam keadaan yang sangat berdarah-darah, meskipun suatu saat dapat berdamai ataupun keluar sebagai pemenang dalam konfliknya dengan Rusia.

Alhasil, akan butuh waktu yang sangat lama bagi Ukraina untuk melakukan recovery pascaperangnya dengan Rusia pada masa yang akan datang, baik dari segi ekonomi dan infrastruktur.

Seluruh dunia tentunya perlu berharap akan adanya jalan keluar perdamaian terbaik bagi Rusia dan Ukraina.

Berbagai alternatif proposal perdamaian bisa saja diaktualisasikan, namun status lawan Ukraina sebagai “great power” tentunya dapat meninggalkan bekas luka mendalam dan tidak akan membuat konflik Ukraina selesai dengan outcome yang diinginkannya.

Outcome dari perang Rusia-Ukraina tampaknya akan sejalan dengan kalimat yang pernah dilontarkan seorang Ilmuwan Inggris Bertrand Russel, “War does not determine who is right – only who is left.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com