Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Proposal Perdamaian Prabowo dan Dilema Negara "Buffer State"

Proposal perdamaian yang ditawarkan oleh Menteri Pertahanan RI tersebut berisikan beberapa poin, di antaranya gencatan senjata, penarikan pasukan kedua belah pihak sejauh 15 kilometer, pembentukan zona demiliterisasi, pengerahan pasukan perdamaian PBB, serta penyelenggaraan referendum oleh PBB di wilayah sengketa.

Prabowo menganggap bahwa dalam merealisasikan resolusi konflik, publik harus banyak mempelajari berbagai pengalaman dari konflik dari negara-negara Asia.

Proposal tersebut sontak mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Ukraina menolak dengan tegas proposal perdamaian yang diargumenkan Prabowo, dan menganggap proposal Menhan RI tersebut adalah usulan aneh.

Bahkan, melalui Penasihat Presiden, Menteri Pertahanan, serta Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina, usulan tersebut terdengar sebagai proposal dari Rusia agar Ukraina mau menyerahkan kedaulatan wilayahnya.

Merespons proposal tersebut, Wakil Presiden Komisi Eropa Joseph Borrell turut mengemukakan bahwa yang diinginkan bukanlah perdamaian karena Ukraina menyerah, melainkan perdamaian yang berkeadilan.

Perlu dicermati, memang terdapat beberapa kekurangan di mata para akademisi dalam proposal perdamaian yang ditawarkan Prabowo.

Misalnya, Ketua Pusat Studi Eropa dan Eurasia Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra, menyebut bahwa terdapat lima kelemahan di dalam proposal tersebut.

Kelemahan ini mencakup tidak disertakannya pertimbangan penyelesaian konflik dengan konteks sejarah, kultur, dan politik identitas Rusia terhadap Ukraina, serta tidak dipertimbangkannya posisi Indonesia dan konsep pengakuan kedaulatan wilayah yang dianutnya.

Faktor di mana negara beruang merah tersebut merupakan pelaku awal invasi, sejarah imperialisme Uni Soviet, kekuatan militernya, referendum di wilayah sah Ukraina, serta posisi Rusia yang merupakan bagian pengambil keputusan di Dewan Keamanan PBB adalah sederet kritik yang dilontarkan terkait proposal Prabowo tersebut.

Darmansjah Djumala, seorang Diplomat sekaligus Anggota Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, juga mengungkapkan hal yang serupa.

Kekurangan proposal perdamaian Prabowo menurutnya terletak pada belum adanya situasi “hurting stalemate” antara Rusia dan Ukraina ketika proposal ini dikemukakan, sehingga keduanya belum mencapai kematangan “political will” untuk menyelesaikan konflik.

Ia juga menyebut bahwa penarikan mundur pasukan kedua negara sejauh 15 kilometer tidak akan menyelesaikan masalah utama, sebab pasukan Rusia telah merangsek masuk kedalam wilayah teritori Luhansk sejauh 60 kilometer lebih dan Donetsk sejauh lebih dari 100 kilometer.

Ukraina tentunya tidak ingin masalah jarak tersebut berpotensi menguntungkan Rusia, serta mengancam integritas status quo wilayah kedaulatannya.

Di samping itu, di awal konflik perang antara Rusia dan Ukraina, pemerintah lewat Kementerian Luar Negeri telah terlebih dahulu memberikan kecaman terhadap Rusia atas invasi yang mengancam kedaulatan wilayah Ukraina.

Meskipun demikian, proposal perdamaian yang diajukan oleh Menhan RI tersebut patut mendapatkan apresiasi tinggi.

Indonesia sebenarnya sudah memenuhi kriteria sebagai negara penengah konflik yang potensial karena memenuhi unsur imparsialitas, yaitu tidak hanya netral ataupun tidak memihak, tetapi juga tidak menjadi bagian dari salah satu pihak yang sedang berkonflik.

Proposal tersebut juga menjadi bukti kuat bahwa Indonesia memang berkomitmen untuk berperan aktif dalam upaya perdamaian dunia sesuai amanat konstitusi.

Poin-poin yang dikemukakan Prabowo dalam proposalnya tersebut, dari perspektif resolusi konflik, juga sebenarnya merupakan langkah-langkah penyelesaian konflik yang konkret.

Hampir semua proses resolusi konflik juga melalui tahapan-tahapan yang serupa, seperti adanya genjatan senjata, zona demiliterisasi, dan pengerahan pasukan perdamaian.

Apa yang dilakukan Menteri Pertahanan RI tersebut sebenarnya sudah dilandasi semangat serta niat baik Indonesia untuk berperan aktif menyudahi konflik antara Rusia dan Ukraina.

Hal ini dapat menjadi inspirasi bagi negara-negara lain untuk berupaya mengurangi tensi yang terjadi di Kawasan Eropa Timur tersebut.

Ukraina memang berhak untuk tidak setuju akan proposal yang ditawarkan Prabowo. Namun, konflik yang terjadi saat ini tidak akan berjalan mudah bagi negara “Buffer State” Rusia tersebut.

Ilmuwan hubungan internasional terkemuka dari University of Chicago, Prof. John Mearsheimer, menyebut bahwa konflik ini masih akan berlanjut dalam waktu yang sangat lama hingga keduanya tidak sanggup lagi melanjutkannya (stalemate).

Ukraina sebagai negara “Buffer State” sebenarnya adalah korban dari dilema keamanan yang terjadi antara dua kekuatan besar: Rusia dan NATO.

Buffer State didefinisikan sebagai negara yang diapit secara geografis atau ideologis antara dua kekuatan besar yang dominan dalam politik internasional.

Beberapa ahli seperti John Mearsheimer dan Stephen Walt menyebut bahwa Ukraina adalah Buffer State bagi Rusia dan blok NATO, karena memiliki persinggungan secara geografis dan ideologis antara kedua kutub tersebut.

Sehingga, Ukraina akan menjadi arena persinggungan dua kekuatan besar apabila ia tidak memosisikan dirinya sebagai pihak yang netral.

Dilema keamanan yang dimaksud dalam tulisan ini juga merujuk pada tulisan Robert Jervis pada 1978 bertajuk “Cooperation Under the Security Dilemma”.

Jervis mengungkapkan bahwa ketika suatu negara berusaha untuk meningkatkan kapabilitas keamanannya (kekuatan militer), maka secara otomatis akan meningkatkan rasa takut dan kewaspadaan bagi negara lain.

Hal ini terjadi akibat faktor ketidaktahuan apakah peningkatan kapabilitas tersebut dilakukan untuk tujuan yang bersifat ofensif ataukah defensif.

Dalam kasus ini, NATO yang dimotori utamanya oleh Amerika Serikat telah berkali-kali melakukan upaya perluasan pengaruh secara masif, yang akhirnya menimbulkan konsekuensi logis bagi Rusia untuk turut meningkatkan kewaspadaannya.

Salah satunya adalah dengan tetap mempertahankan pengaruh negara yang berbatasan langsung secara geografis Rusia, seperti Ukraina.

Sejak awal sejarah konflik antara Rusia dan Ukraina terjadi, konflik kedua negara ini bersifat asimetris, di mana salah satunya melibatkan “great power”.

Konflik asimetris yang melibatkan langsung kekuatan hegemon di wilayah tertentu tentunya tidak sama dengan konflik simetris di wilayah lain yang kekuatan militernya relatif serupa.

Paradigma geopolitik Rusia yang tidak cawe-cawe terhadap perluasan pengaruh NATO akan membuatnya melakukan apa saja agar Ukraina tunduk pada pengaruh Moskow.

Bahkan jika diperlukan, Rusia akan mengeluarkan kekuatan penuh untuk mempertahankan pengaruhnya di wilayah periferi teritorialnya tersebut.

Meskipun memiliki kemungkinan yang sangat kecil, bukan tidak mungkin Rusia dapat mengeluarkan senjata pemusnah masal (nuklir) jika suatu saat terpojok akibat serangan yang dilakukan Ukraina dengan bantuan senjata-senjata Barat.

Kondisi kekuatan militer yang asimetris inilah yang membuat hasil akhir apapun dari konflik antara kedua negara tersebut akan membuat Ukraina berada dalam keadaan yang sangat berdarah-darah, meskipun suatu saat dapat berdamai ataupun keluar sebagai pemenang dalam konfliknya dengan Rusia.

Alhasil, akan butuh waktu yang sangat lama bagi Ukraina untuk melakukan recovery pascaperangnya dengan Rusia pada masa yang akan datang, baik dari segi ekonomi dan infrastruktur.

Seluruh dunia tentunya perlu berharap akan adanya jalan keluar perdamaian terbaik bagi Rusia dan Ukraina.

Berbagai alternatif proposal perdamaian bisa saja diaktualisasikan, namun status lawan Ukraina sebagai “great power” tentunya dapat meninggalkan bekas luka mendalam dan tidak akan membuat konflik Ukraina selesai dengan outcome yang diinginkannya.

Outcome dari perang Rusia-Ukraina tampaknya akan sejalan dengan kalimat yang pernah dilontarkan seorang Ilmuwan Inggris Bertrand Russel, “War does not determine who is right – only who is left.”

https://www.kompas.com/global/read/2023/06/19/132653070/proposal-perdamaian-prabowo-dan-dilema-negara-buffer-state

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke