Selain menolak perkawinan anak, ulama-ulama perempuan ini turut merespons berbagai topik lain yang relevan dengan keseharian umat Muslim global. Di antaranya penolakan terhadap sunat perempuan, reintegrasi eks-kombatan kelompok teroris, hingga perlindungan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Baca juga: KBRI Manila: Anton Gobay Akui Beli Senpi Ilegal di Filipina untuk Dukung KKB Papua
Wacana mengarusutamakan ulama perempuan, menurut Rubiyanti, mulai marak sejak dekade 1980-an, diupayakan para santriwati terdidik yang saling berjejaring di berbagai kota. Hanya saja, menurut Rubiyanti, ulama-ulama perempuan di Indonesia sempat lama tersebar di berbagai pesantren tanpa memiliki wadah bersama untuk menyuarakan pendapat saat muncul dialog mengenai tafsir-tafsir keagamaan.
Hal itu yang mendasari lahirnya KUPI yang berhasil digelar Rubiyanti dan rekan-rekan pegiat feminis muslim lain untuk pertama kalinya pada 2017.
Munculnya KUPI ternyata mendapat sambutan hangat dari komunitas muslim internasional, sehingga kongres ke-II mereka yang digelar pada 2022 lalu di Jepara, dihadiri lebih dari 1.500 ulama perempuan dari 32 negara.
Lebih jauh lagi, Rubiyanti mengapresiasi adanya forum diskusi yang diinisiasi KBRI Helsinki, karena acara ini secara efektif menghubungkannya dengan banyak mitra potensial untuk berkolaborasi bersama ulama perempuan di KUPI.
“Ke depan kami ingin mendorong orang dari mancanegara datang ke Indonesia, karena tanpa datang dan melihat sendiri kondisi pesantren di negara kita, mereka tidak akan paham mengapa bisa muncul gerakan ulama perempuan. Mereka bisa sekaligus belajar demokrasi di Indonesia dan nilai keislaman kita yang khas,” ujar Rubiyanti.
Baca juga: Covid-19 Surut, KBRI Singapura Kembali Gelar Resepsi Diplomatik HUT RI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.