Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita WNI Puasa di Luar Negeri: 21 Jam di Norwegia, Suasana Berbeda di Chile

Kompas.com - 17/04/2023, 22:30 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

KAIRO, KOMPAS.com - Munirul Ilyas yang berasal dari Pekanbaru, Riau, sudah delapan tahun menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar di ibu kota Mesir, Kairo.

Itu berarti pria yang berusia 28 tahun ini sudah beberapa kali menjalankan puasa dan Lebaran di sana.

Mesir memiliki populasi 109 juta jiwa, sekitar 85 persen di antaranya memeluk agama Islam, dan lainnya beragama Kristen.

Baca juga: Cerita WNI Puasa Saat Perang di Ukraina: Dulu Bam Bim Bum Sering Banget, Sekarang Sudah Normal

Meski banyak persamaan antara Indonesia dan Mesir, Ilyas melihat beberapa perbedaan.

"Suasana Ramadhan di Mesir sangat meriah, bahkan beberapa hari sebelum Ramadhan saja masyarakat Mesir sudah menyambutnya dengan memasang hiasan-hiasan di komplek perumahan, jalan-jalan, di dalam rumah atau pun di toko-toko dan mal," kata mahasiswa S2 tersebut.

Namun, yang agak membedakan menurutnya adalah banyak tempat buka puasa gratis di sana.

"Mereka membuat tenda-tenda di tepi jalan, di kompleks masjid, atau membagi-bagikan berkeliling, dengan kendaraan mereka, makanan berbuka puasa."

Ilyas mengatakan hidangannya pun lengkap, mulai dari minuman, kurma, hingga makanan utama seperti nasi kufta lengkap dengan khudor atau sayur.

Buka puasa gratis itu dalam istilah setempat disebut maidaturrahman, yang artinya menu berbuka dari Tuhan.

Puasa 21 jam di Norwegia

Berbeda dengan Ilyas, Retno Hartanti Tomstad yang berasal dari Cilacap, Jawa Tengah, telah menetap di Kristiansand, sebuah kota di bagian selatan Norwegia yang berpenduduk sekitar 110.000 orang sejak menikah dengan pria Norwegia pada 1999.

Retno mengatakan ia memperkenalkan budaya Indonesia kepada anak-anak dan suaminya.

"Saya mengenalkan ke mereka tradisi dan kultur-kultur dan peradaban manusia terutama dari Indonesia, tapi saya tidak mengajarkan tentang ketuhanan."

Meski demikian, Retno yang dibesarkan dalam keluarga Muslim di Indonesia, masih menjalankan puasa dengan teratur walau anak-anak dan suaminya bukan Muslim.

Menurut Retno, pengalaman puasa terberatnya di Norwegia adalah saat Ramadhan jatuh di musim panas sehingga ia harus berpuasa selama 21 jam.

"Tapi saya kebiasaan ikut fatwa yang ada dengan mengikuti jam dari kota Mekkah dan Madinah untuk berpuasa."

Norwegia yang merupakan salah satu negara Skandinavia di Eropa berpenduduk 5 juta jiwa, dengan 68 persen di antaranya pemeluk Kristen dan 25 persen mengaku tidak beragama.

Baca juga: Cerita WNI Tinggal di Pasifik, Dapat Nama Kehormatan

Suasana Ramadhan tidak terasa di Chile

Di belahan dunia lainnya yaitu di Amerika Selatan di Chile, Farrah Zilza asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sudah tinggal di ibu kota Santiago selama lebih dari setahun terakhir.

Farrah menikah dengan pria asal Chile, Gonzalo Barros, dan kini tinggal bersama keluarga suaminya sementara Gonzalo bekerja di Selandia Baru.

Dengan penduduk hampir 20 juta jiwa, 42 persen penduduk Cile adalah penganut Katolik dan 14 persen beragama Kristen Protestan.

Sejak tiba di Chile, Farrah sudah mengalami dua kali Ramadhan dan sekali Idul Fitri yang dirayakan bersama suaminya yang seorang mualaf.

Menurut Farrah, perbedaan Chile dan Indonesia selama Ramadhan adalah suasananya, seperti tidak adanya buka puasa bersama, tarawih, dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya.

"Namun saya tinggal di rumah mertua banyak mendapat dukungan dari mereka yang sering mengingatkan adanya makanan di kulkas untuk sahur," kata Farrah.

"Mereka juga sangat antusias dengan kegiatan agama saya, karena selama ini mereka tidak pernah bersinggungan dengan orang Muslim, mereka hanya tahu Islam dari pemberitaan di televisi."

Farrah Zilza (dua dari kiri) sudah tinggal lebih dari setahun di ibu kota Chile, Santiago.DOK FARRAH ZILZA via ABC INDONESIA Farrah Zilza (dua dari kiri) sudah tinggal lebih dari setahun di ibu kota Chile, Santiago.
Sepengetahuannya, ada sekitar 200 orang asal Indonesia yang tinggal di Chile, sementara jumlah warga Muslim secara keseluruhan sekitar 2.000 orang.

Baca juga: Cerita WNI Jual Makanan Indonesia di Warung Mobil Jerman, Sedia Mi Ayam hingga Batagor

Ramadhan pertama di Meksiko

Sementara itu di kota Toluca, sekitar 63 km dari ibu kota Meksiko City, Selvi Pertiwi yang berasal dari Solo, Jawa Tengah, untuk pertama kalinya melewati Ramadhan.

Meksiko dengan populasi 130 juta jiwa, 74 persen penduduknya menganut Katolik.

Selvi pindah ke Meksiko setelah menikah dengan Carlos Zavala, yang ditemuinya lewat media sosial Instagram dan menikah online karena pandemi.

"Sekarang saya sedang hamil sehingga tidak puasa, namun setiap hari saya menemani dan mempersiapkan makanan untuk suami saya yang puasa penuh," katanya.

Walau sangat berbeda dengan Indonesia, menurut Selvi, selama Ramadhan ini dia masih bisa merasakan sedikit suasana keislaman di sana karena adanya komunitas mualaf di kota tersebut.

"Di sini ada beberapa warga Meksiko yang masuk Islam juga ada warga Islam lain dari Mesir, Pakistan, Suriah, Aljazair," kata Selvi yang baru saja lulus jadi sarjana akuntansi di Indonesia sebelum pindah.

"Minggu kemarin kami buka puasa bersama sekitar 30 orang yang hadir."

Selvi (dua dari kiri) bersama teman-teman Muslim dari beberapa negara yang tinggal di Meksiko.DOK SELVI PERTIWI via ABC INDONESIA Selvi (dua dari kiri) bersama teman-teman Muslim dari beberapa negara yang tinggal di Meksiko.
Rindu tradisi Indonesia menjelang Lebaran

Retno mengatakan di bulan Ramadhan, khususnya di masa-masa menjelang Lebaran seperti sekarang, dia merindukan berbagai tradisi yang dulu ia jalani di Indonesia.

"Saya kangen tradisi nyadran di Jawa untuk menyambut puasa, tarawih di masjid, malam Lailatul Qadar dan malam takbiran sebelum lebaran."

"Saya kangen membuat ketupat Lebaran bersama ibu dan saudara-saudara yang lain dan ibu yang merebus ketupat tersebut sampai tanak dan digantung-gantungkan sebelumnya," kata perempuan yang sudah lebih dari 34 tahun tinggal di luar negeri ini.

Retno Hartanti Tomstad (baju berbunga) bersama warga dan mahasiswa asal Indonesia di Kristiansand.DOK RETNO HARTANTI TOMSTAD via ABC INDONESIA Retno Hartanti Tomstad (baju berbunga) bersama warga dan mahasiswa asal Indonesia di Kristiansand.
Senada dengan Retno, Farrah juga merindukan tradisi di Indonesia saat Lebaran, misalnya ketika orang-orang yang lebih tua memberi amplop berisi uang untuk anak-anak seusai shalat Ied yang tidak ditemukannya di Cile.

"Tentu (di sini) juga tidak ada budaya sowan ke keluarga, sungkem juga, jadi setelah pulang dari masjid ya masing-masing menjalankan kegiatan seperti biasa," katanya.

Sementara itu menurut Ilyas, karena saat ini ada sekitar 8.000 mahasiswa asal Indonesia yang di berbagai universitas di Mesir, dia tidak merasa terlalu kesepian walau jauh dari Indonesia.

Ilyas mengatakan sebelum Covid, salat Idul Fitri dilanjutkan halalbihalal dengan hidangan khas Nusantara biasanya dilangsungkan di Kedutaan Indonesia.

"Namun setelah Covid kami melakukan shalat di masjid-masjid besar di Kairo bersama keluarga dan teman-teman dekat setelah itu berfoto bersama," pungkas Ilyas yang sambil kuliah juga menjadi guru di sekolah Indonesia di Mesir.

Baca juga: Cerita WNI Jadi Insinyur SpaceX: Kuliah di MIT, Magang di NASA, Kini Kerja di Perusahaan Elon Musk

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com