JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis kemanusiaan mengatakan perlu respons regional untuk menyelamatkan para pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di lautan.
Selama ini hanya Indonesia yang mengizinkan para pengungsi Rohingya untuk turun dari kapal, meskipun tujuan akhir kebanyakan dari mereka adalah Malaysia.
“Tetapi satu-satunya cara mereka bisa pergi ke Malaysia adalah mencoba pergi ke Indonesia terlebih dahulu. Ini adalah masalah dan juga saya takut semakin banyak kapal akan melakukan itu,” kata Chris Lewa dari Arakan Project, kelompok advokasi yang menangani pengungsi Rohingya.
Baca juga: 184 Pengungsi Rohingya Terdampar di Aceh Besar Dites Swab dan Diambil Sampel Darahnya
Sebuah kapal yang membawa 184 pengungsi Rohingya, mayoritas perempuan dan anak-anak, mendarat di Kabupaten Aceh Besar pada hari Minggu (8/1/2023).
Ini adalah kapal kelima yang membawa pengungsi Rohingya ke Indonesia sejak bulan November tahun lalu, menurut pihak berwenang.
Empat kapal sebelumnya mendarat di Aceh Besar pada bulan November dan Desember 2022, membawa total lebih dari 400 penumpang.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI mengatakan persoalan pengungsi Rohingya harus diselesaikan dari tempat permasalahan, baik di wilayah Rakhine, Myanmar, maupun di Bangladesh.
Sekitar satu juta etnis Rohingya diperkirakan tinggal di kamp pengungsi di Bangladesh setelah mereka mengungsi dari persekusi di Myanmar pada 2017.
Sebelumnya sejumlah media melaporkan bahwa Direktur Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib, mengeklaim bahwa pihak asing sengaja mengirim kapal pengungsi Rohingya ke Aceh untuk kemudian diselundupkan ke Malaysia.
Baca juga: Sebulan Terapung di Laut, Puluhan Pengungsi Rohingya Terdampar di Indonesia dalam Kondisi Kelaparan
Beberapa media menyebut, para pengungsi dibekali alat GPS yang langsung terkoneksi ke sejumlah lembaga internasional, baik itu LSM maupun kedutaan besar.
Achsanul Habib mengatakan kepada BBC News Indonesia pada Senin (9/1/2023), bahwa media telah salah mengutip perkataannya, tetapi dia menolak mengklarifikasi lebih lanjut.
Chris Lewa menyampaikan, pihaknya memang melacak koordinat GPS satu kapal pengungsi yang mendarat di Kabupaten Pidie, Aceh pada tanggal 26 Desember lalu, namun tujuannya ialah memastikan mereka bisa diselamatkan.
Dia menjelaskan bahwa timnya, yang berbasis di Thailand, telah berkontak dengan keluarga orang-orang di atas kapal.
Kapal pengungsi jarang memiliki telepon satelit sehingga para penumpang dapat mengontak keluarga mereka di Bangladesh.
“Jadi kami minta setiap kali mereka menelepon untuk memberi kami koordinat GPS,” kata Chris kepada BBC News Indonesia.
Baca juga: Myanmar Tangkap 112 Warga Rohingya yang Akan Pergi ke Malaysia Tanpa Dokumen Resmi
Ketika pertama kali menerima koordinat GPS pada tanggal 5 Desember, mereka mengetahui bahwa kapal sedang dalam masalah karena mesinnya rusak dan para pengungsi terkatung-katung di lautan.
Chris dan rekan-rekan aktivisnya mengumpulkan koordinat GPS dan mengirimkannya ke PBB dan sejumlah kedutaan besar.
Mereka berusaha supaya siapapun bisa menyelamatkan kapal tersebut, tidak hanya Indonesia.