Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Perlombaan Senjata Nuklir dan Gerakan Anti-Perang

Kompas.com - 09/12/2022, 15:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ISU perlombaan senjata nuklir kembali menguat akhir-akhir ini. Kantor berita Reuters memberitakan pada 6 Desember 2022 bahwa Menteri Pertahanan China menegaskan, laporan yang dirilis Amerika Serikat (AS) terkait pengembangan senjata nuklir Negeri Tirai Bambu tersebut hanyalah sebuah gestur fiktif dan spekulasi belaka.

Dalam sebuah laporan bulan lalu, pihak Pentagon (AS) menyampaikan bahwa China kemungkinan akan memiliki 1.500 hulu ledak nuklir pada tahun 2035, jika kecepatan pembangunan senjata nuklirnya tetap konsisten seperti saat ini.

Kementerian Pertahanan China merespon dengan mengatakan bahwa pihak AS seharusnya berkaca pada kebijakan pengembangan nuklirnya sendiri, terutama karena AS memiliki jumlah persenjataan nuklir terbesar di dunia saat ini.

Baca juga: Putin: Tak Masuk Akal Bagi Kami Pakai Senjata Nuklir di Ukraina

Menurut data dari lembaga think-tank Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), AS memiliki sekitar 3.700 persediaan hulu ledak nuklir. Dari jumlah itu, sekitar 1.740 di antaranya telah dikerahkan ke berbagai wilayah.

Secara provokatif, Kementerian Pertahanan China juga menjuluki AS sebagai "pembuat masalah terbesar" dalam hal keamanan global saat ini.

Dalam salah satu artikel The Washington Post pada 30 November 2022, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, mengatakan bahwa Rusia memutuskan untuk menunda pembicaraan terkait keberlanjutan pakta Strategic Arms Reduction Treaty (START), sebuah perjanjian yang lahir pasca Perang Dingin untuk memberlakukan pembatasan senjata nuklir.

Meskipun masa berlaku perjanjian tersebut baru akan berakhir pada Februari 2026, nyatanya inspeksi rutin yang diamanatkan dalam pakta tersebut belum diadakan lagi selama hampir tiga tahun terakhir. Alasan pertama adalah akibat merebaknya pandemi virus Covid-19. Kedua, tentu karena hubungan kedua negara tersebut yang memanas setelah pecahnya konflik Rusia-Ukraina.

Zakharova meminta AS agar melakukan cipta kondisi atau stabilisasi agar pembahasan terkait pakta tersebut dapat dilaksanakan tahun depan.

Memanasnya hubungan AS dengan Rusia dan China dalam hal pengembangan hulu ledak nuklir tentu menimbulkan spekulasi akan semakin gencarnya perlombaan senjata antar ketiga negara superpower tersebut di masa yang akan datang.

Dalam sejarah, masih membekas di ingatan dunia akan dampak senjata nuklir yang pernah digunakan untuk mengakhiri Perang Dunia II di Hiroshima dan Nagasaki pada awal Agustus 1945. Hanya dengan dua bom atom saja, AS menewaskan 150.000 warga Jepang pada saat itu, serta melukai ribuan orang lainnya.

Walaupun implikasi penggunaan bom atom tersebut belum diketahui pada awalnya, kejadian di Hiroshima dan Nagasaki membuka perdebatan dunia terkait etika dalam penggunaan senjata pemusnah masal tersebut.

Memuculkan Gerakan Menentang Perang

Ledakan dashyat yang memunculkan perdebatan pasca tewasnya ratusan ribu jiwa tersebut akhirnya tidak hanya melahirkan kecaman terhadap penggunaan senjata nuklir, tetapi juga semakin menggencarkan berbagai kampanye pasifis, maupun anti-perang di seluruh dunia.

Gerakan anti-perang sebenarnya telah lahir sejak meletusnya Perang Dunia I, saat sebagian warga Inggris menolak untuk ikut serta dalam wajib militer dan maju ke medan pertempuran. Oleh pemerintah Inggris, para penentang perang ini dijuluki dengan istilah Conscientious Objector (CO) atau Conchies. Kelompok itu  berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, sosial, agama, maupun politik.

Conscientious Objectors memiliki arti “penolak berdasarkan hati nurani”. Mereka menolak untuk ikut serta dalam tugas negara (seringkali saat pemaksaan wajib militer) dengan alasan pandangan pribadi. Pandangan pribadi tersebut bisa berasal dari nilai-nilai agama, moral, maupun ideologi politik tertentu.

Dalam Perang Dunia I, sebagian pihak menganggap mereka sebagai pengecut, tetapi di saat yang bersamaan memberanikan diri untuk melawan apa yang tidak sesuai dengan keyakinan dan hati nuraninya. Para penolak perang ini biasanya menghadapi pilihan yang sulit ketika berhadapan dengan pemerintah: tetap ikut dinas kemiliteran tetapi ditempatkan sebagai non-combatant, dipaksa bertugas untuk membantu peperangan di sektor lainnya, atau dipenjara.

Hal ini jelas mengekang kebebasan berpikir, sebagaimana yang terdapat dalam konsep hak asasi manusia. Seiring berjalannya waktu, para penolak perang terus bersuara dan mendapatkan perhatian dunia, tak terkecuali saat Perang Dunia II dan Perang Dingin.

Baca juga: AS Sebut Nuklir China Kian Pesat, Kemenhan China: Itu Hanya Spekulasi

Menurut Mary Kaldor dalam buku New and Old Wars, kedua perang ini termasuk dalam periode old war. Keduanya sama-sama mulai menggunakan kemajuan teknologi sebagai bagian dari persenjataan.

Senjata nuklir, menurut Lyn Smith dalam buku Voices Against War: A Century of Protest, merupakan salah satu pendorong semakin gencarnya gerakan anti-perang dan perlucutan senjata nuklir.

Menentang Senjata Nuklir

Terjadinya bencana bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 menandai berakhirnya periode perang konvensional, dan mengawali dimulainya nuclear age, sebuah zaman saat perkembangan senjata nuklir meningkat secara tajam.

Saat itu, dimensi peperangan menjadi lebih menakutkan akibat dari jumlah korban tewas yang dihasilkan dari serangan senjata nuklir. Tak hanya korban jiwa, beberapa korban selamat pun merasakan efek yang sangat fatal akibat radiasi yang ditimbulkan ledakan bom tersebut.

Hal itu membuat gerakan-gerakan anti-perang berevolusi ke tingkat yang lebih tinggi, dengan mengecam senjata nuklir sebagai sebuah “kejahatan baru terhadap kemanusiaan".

Setelah Perang Dunia II berakhir, perlombaan senjata berubah menjadi bipolar serta didominasi oleh AS dan Uni Soviet, dua poros kekuatan baru yang saling bertentangan secara ideologis. Hal ini menandai dimulainya Perang Dingin, yang memiliki ciri khas adanya kompetisi antar ideologi, penggunaan spionase, banyaknya perang proxy, dan perlombaan senjata nuklir dari tahun 1945 hingga 1990.

Selain itu, perekrutan prajurit dengan sistem wajib militer juga masih terus terjadi di berbagai belahan dunia. Protes publik pun akhirnya menyeruak dan melahirkan berbagai gerakan pasifis, anti-perang, anti-kekerasan, sekaligus kampanye perlucutan senjata nuklir.

Di Inggris, sebuah kelompok pasifis kecil dari Peace Pledge Union (PPU) membentuk suatu komisi anti-kekerasan, yang kemudian berubah menjadi organisasi bernama Operation Gandhi (dan selanjutnya berubah menjadi Direct Action Committee (DAC)). Mereka meminta diakhirinya program nuklir, keluarnya Inggris dari keanggotaan NATO, serta menuntut AS untuk angkat kaki dari negaranya.

Aksi itu semakin gencar dengan tetap dilaksanakannya berbagai pengetesan bom hidrogen, baik oleh AS maupun Uni Soviet. Perhatian publik yang besar pasca pengetesan bom-bom hidrogen oleh AS akhirnya melahirkan Campaign for Nuclear Disarmament (CND) pada tanggal 17 Februari 1958.

Gerakan DAC dan CND akhirnya berjalan secara beriringan. Tuntutan mereka kepada pemerintah Inggris, AS, serta Uni Soviet pun sejalan: hentikan pengetesan, pembuatan, ataupun segala bentuk penyimpanan senjata nuklir secepatnya. Gerakan-gerakan serupa akhirnya juga lahir dan bermunculan, membuat mobilisasi massa yang turun ke jalan dan mengikuti aksi protes menjadi perhatian publik internasional.

Baca juga: Persenjataan Nuklir China Diprediksi Meningkat 3 Kali Lipat pada 2035, AS Ketar-ketir

Hal itu yang menurut David Owen, seorang politisi Inggris kala itu, sebut sebagai "megaphone diplomacy. 

Situasi kembali berkembangnya isu-isu terkait pengembangan senjata nuklir saat ini perlu menjadi perhatian. Friksi geopolitik yang terjadi antar ketiga negara (AS, Rusia, dan China) saat ini tentu membuat perlombaan senjata menjadi tak terelakkan.

Dunia perlu kembali diingatkan akan efek destruktif yang ditimbulkan dari senjata nuklir, terutama saat kejadian Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Cara-cara non-kekerasan tetap harus dikedepankan dalam penyelesaian konflik, sehingga dunia tidak perlu kembali jatuh kepada zaman Perang Dingin, ataupun perang dunia seperti di masa lalu.

Meskipun Indonesia berpotensi hanya menjadi pengamat dalam konflik semacam ini, namun efek langsungnya juga pasti akan terasa apabila perlombaan senjata nuklir terus terjadi dan dunia jatuh kepada Perang Dingin jilid II, atau bisa jadi, Perang Dunia III.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Ikut Pendaftaran Wajib Militer, Ratu Kecantikan Transgender Thailand Kejutkan Tentara

Ikut Pendaftaran Wajib Militer, Ratu Kecantikan Transgender Thailand Kejutkan Tentara

Global
Presiden Ukraina Kecam Risiko Nuklir Rusia karena Mengancam Bencana Radiasi

Presiden Ukraina Kecam Risiko Nuklir Rusia karena Mengancam Bencana Radiasi

Global
Jelang Olimpiade 2024, Penjara di Paris Makin Penuh

Jelang Olimpiade 2024, Penjara di Paris Makin Penuh

Global
Polisi Diduga Pakai Peluru Karet saat Amankan Protes Pro-Palestina Mahasiswa Georgia

Polisi Diduga Pakai Peluru Karet saat Amankan Protes Pro-Palestina Mahasiswa Georgia

Global
Pemilu India: Pencoblosan Fase Kedua Digelar Hari Ini di Tengah Ancaman Gelombang Panas

Pemilu India: Pencoblosan Fase Kedua Digelar Hari Ini di Tengah Ancaman Gelombang Panas

Global
Kim Jong Un: Peluncur Roket Teknologi Baru, Perkuat Artileri Korut

Kim Jong Un: Peluncur Roket Teknologi Baru, Perkuat Artileri Korut

Global
Anggota DPR AS Ini Gabung Aksi Protes Pro-Palestina di Columbia University

Anggota DPR AS Ini Gabung Aksi Protes Pro-Palestina di Columbia University

Global
Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Internasional
Rangkuman Hari Ke-792 Serangan Rusia ke Ukraina: Jerman Didorong Beri Rudal Jarak Jauh ke Ukraina | NATO: Belum Terlambat untuk Kalahkan Rusia

Rangkuman Hari Ke-792 Serangan Rusia ke Ukraina: Jerman Didorong Beri Rudal Jarak Jauh ke Ukraina | NATO: Belum Terlambat untuk Kalahkan Rusia

Global
PBB: 282 Juta Orang di Dunia Kelaparan pada 2023, Terburuk Berada di Gaza

PBB: 282 Juta Orang di Dunia Kelaparan pada 2023, Terburuk Berada di Gaza

Global
Kata Alejandra Rodriguez Usai Menang Miss Universe Buenos Aires di Usia 60 Tahun

Kata Alejandra Rodriguez Usai Menang Miss Universe Buenos Aires di Usia 60 Tahun

Global
Misteri Kematian Abdulrahman di Penjara Israel dengan Luka Memar dan Rusuk Patah...

Misteri Kematian Abdulrahman di Penjara Israel dengan Luka Memar dan Rusuk Patah...

Global
Ikut Misi Freedom Flotilla, 6 WNI Akan Berlayar ke Gaza

Ikut Misi Freedom Flotilla, 6 WNI Akan Berlayar ke Gaza

Global
AS Sebut Mulai Bangun Dermaga Bantuan untuk Gaza, Seperti Apa Konsepnya?

AS Sebut Mulai Bangun Dermaga Bantuan untuk Gaza, Seperti Apa Konsepnya?

Global
[POPULER GLOBAL] Miss Buenos Aires 60 Tahun tapi Terlihat Sangat Muda | Ukraina Mulai Pakai Rudal Balistik

[POPULER GLOBAL] Miss Buenos Aires 60 Tahun tapi Terlihat Sangat Muda | Ukraina Mulai Pakai Rudal Balistik

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com