Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PBB: Perbudakan Modern Masih Marak di Dunia

Kompas.com - 22/08/2022, 10:01 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

NEW YORK CITY, KOMPAS.com - Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB Tomoya Obokata mengatakan perbudakan tradisional, terutama terhadap etnis minoritas, masih didapati di Mauritania, Mali, dan Niger.

Dalam laporannya kepada Sidang Umum PBB, Kamis (18/8/2022), dia mengatakan perbudakan anak bisa ditemui dalam bentuk paling keji.

"Di Asia dan Pasifik, Timur Tengah, Amerika, dan Eropa, antara empat sampai enam persen anak-anak dipaksa bekerja dan presentasenya lebih tinggi di Afrika (21,6 persen) dan angka tertinggi di Afrika sub-Sahara (23,9 persen),” kata Tomoya.

Baca juga: Rusia Sebut Uni Eropa Lakukan Perbudakan setelah Jadikan Ukraina Kandidat Anggota

Menurutnya, etnis minoritas termasuk kelompok paling rentan terhadap perbudakan paksa. Fenomena ini terutama marak di Amerika Latin, terlebih di pedalaman Brasil dan hutan Amazon.

Di sana, perbudakan berkaitan dengan aktivitas ekonomi yang menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk perambahan hutan dan penambangan ilegal, dengan mayoritas korban berwarna kulit hitam dan berpendidikan rendah.

Sebaliknya di CHina, pihaknya menemukan banyaknya buruh etnis Uighur, Kazakh, dan minoritas lain yang dipaksa bekerja di sektor pertanian atau manufaktur.

Beijing juga dituduh menggalakkan transfer buruh yang melatih petani dan peternak di Tibet menjadi buruh rendahan.

Kebijakan tersebut, kata dia, berhasil menciptakan lapangan kerja. Namun, ia melibatkan praktik perbudakan, di mana buruh dipaksa bekerja dalam pengawasan ketat, kondisi yang buruk dan di bawah ancaman kekerasan.

Baca juga: Dubes RI Hermono: Banyak ART Indonesia Alami Perbudakan Modern di Malaysia

Perbudakan modern: pernikahan paksa dan kekerasan seksual

Laporan tersebut juga mengutip dua jenis perbudakan modern lain, yakni pernikahan paksa dan perbudakan seksual.

Peningkatan jumlah kasus pernikahan paksa tercatat paling tajam pada minoritas Roma di tenggara Eropa. Di kawasan Balkan, separuh perempuan Roma yang berusia antara 20-24 tahun, dinikahkan sebelum menginjak usia 18. Adapun rata-rata nasional berkisar hanya 10 persen, imbuhnya.

Adapun di Inggris, fenomena pernikahan anak terutama marak di komunitas migran asal Pakistan, dan sebagain kecil pada komunitas Afghanistan, Bangladesh, India, dan Somalia.

Di Tanduk Afrika, Boko Haram dilaporkan giat memaksa gadis dan perempuan Kristen untuk memeluk Islam untuk dinikahkan. Pada sebagian etnis minoritas di Nigeria, praktik pernikahan anak bahkan mencapai 74,9 persen pada etnis Kambari dan 73,8 persen pada etnis Fulfude.

Pernikahan paksa juga terjadi di Kongo, Kamboja, India, Kazakhstan, Sri Lanka, dan Vietnam. Sementara di Amerika Selatan, praktik tersebut tercatat lazim di Bolivia, Kolombia, Honduras, dan Panama.

Baca juga: Pangeran Saudi Dituduh Melakukan Perbudakan Modern di Perancis

Lonjakan kasus perbudakan seksual

Krisis kemanusiaan dan konflik di sejumlah tempat turut mendorong lonjakan kasus perbudakan seksual, kata Tomoya.

Pada 2014, sebanyak 6.500 perempuan etnis Yazidi disandera kelompok teror ISIS sebagai budak seks. Sebanyak 2.800 korban masih dinyatakan hilang hingga kini.

Di Etiopia, perempuan suku minoritas Tigray, Amhara, dan Afar, sering menjadi korban pemerkosaan, mutilasi seksual dan berbagai bentuk kekerasan seksual oleh pihak yang bertikai.

Di utara Nigeria, Boko Haram terutama membidik perempuan nonmuslim untuk dijadikan budak seks.

Situasi pelik juga dihadapi perempuan etnis Rohingya di Myanmar. Mereka menjadi korban kekerasan seksual sistematis oleh angkatan bersenjata, yang bisa dianggap kejahatan perang atau kejahatan kemanusiaan.

Baca juga: Cerita Pembelot Korut Lolos dari Perbudakan dan Kelaparan, Kini Ikut Pemilu di Inggris

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com