BEIJING, KOMPAS.com - Pengguna web China menggunakan metode kreatif demi menghindari penyensoran pemerintah.
Ini mereka lakukan agar bisa menyuarakan ketidakpuasan atas aturan Covid-19 China.
Dilansir AFP, China memang mempertahankan cengkeraman ketat atas internet.
Banyak sensor yang menghapus postingan berisi kritik terhadap kebijakan Partai Komunis China.
Baca juga: Shanghai Umumkan Wabah Covid-19 Terburuk di China Telah Dikendalikan
Mesin sensor China saat ini bekerja keras mempertahankan kebijakan ketat nol-Covid Beijing, apalagi kota pusat bisnis Shanghai mengalami penguncian selama berminggu-minggu demi mengatasi wabah.
Terjebak di rumah, banyak dari 25 juta penduduk kota itu menggunakan media sosial untuk melampiaskan kemarahan atas kekurangan makanan dan kondisi karantina.
Charlie Smith, salah satu pendiri situs pemantauan sensor GreatFire.org, mengatakan penguncian Shanghai telah menjadi "masalah yang terlalu besar untuk dapat disensor sepenuhnya".
Pengguna web yang cerdik pun beralih ke trik seperti membalik gambar dan menggunakan permainan kata, juga menggunakan nama samaran karena sensitivitas.
Dalam satu contoh, sensor menghapus tagar populer di platform media sosial Weibo yang mengutip baris pertama lagu kebangsaan China: "Bangunlah, mereka yang menolak menjadi budak."
Tapi bagian itu lantas dibagikan bebarengan dengan kemarahan anti-lockdown.
Baca juga: Bangunan Ambruk di Changsha China Tewaskan 53 Orang
Bulan lalu, polisi internet nyaris menyerah dalam menghentikan video viral "Voices of April" yang menampilkan cerita dari penduduk Shanghai yang tertekan selama penguncian.
Pengguna web dengan cepat mengedit ulang dan membagikan klip enam menit itu untuk menghindari mesin sensor, yang berjuang selama berjam-jam mengidentifikasi versi yang berbeda.
Seorang warga Shanghai yang frustrasi mengatakan bahwa netizen berbagi berbagai format untuk menyampaikan uneg-unegnya, meskipun setiap posting menghilang dalam beberapa menit.
Baca juga: Perluas Pengaruh, Wapres China Akan Hadiri Pelantikan Presiden Korsel
"Kami melawan AI," kata penduduk itu kepada AFP.
"Orang-orang di Shanghai bersedia 'membayar harganya' karena menayangkan pandangan kritis," kata Luwei Rose Luqiu, asisten profesor di Universitas Baptis Hong Kong.
"Kesulitan, ketidakpuasan, dan kemarahan yang mereka alami dalam penguncian jauh melebihi rasa takut akan hukuman karena memposting konten sensitif," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.